Aku tak mengenalnya. Tidak, seharusnya aku bilang sayang
sekali aku tak mengenalnya. Tidak sempat.
Joan Tobit Sigalingging ditemukan meninggal setelah hilang selama kurang lebih satu bulan. Tapi bukan itu berita yang paling mengejutkan.
Thomas, yang juga kuliah di ITB, barangkali sudah dengar
beritanya. Tentang Tobit yang kuliah di Oseanografi (jauh tidak?) angkatan
2008. Kak Tobit ditemukan meninggal kemarin, tanggal 25, di sebuah ceruk
setelah hilang ketika mendaki Gunung Kendang. Memang sih, walau jarang, ada
saja orang yang meninggal dalam pendakian.
Tapi berapa banyak yang meninggal setelah mati-matian
bertahan selama 18 hari dengan kaki patah?
Hasil visum dokter menunjukkan bahwa Kak Tobit baru
meninggal 10 hari lalu, berarti tanggal 15,
18 hari setelah tim SAR menyusul. Lalu mengapa tim gabungan KMPA, WANADRI dan
lain-lain itu gagal menemukannya?
Sejak tanggal 5 lalu, ibuku tersayang turun ke lapangan
sebagai sukarelawan SAR di bawah KMPA. Sampai beliau pulang hari ini, tak
pernah Ibu ada di rumah lebih dari 2 hari. Dari beliaulah aku mendapat garis
besar kronologi pencarian.
*Mohon maaf jika ada data yang salah, saya belum sempat
menanyakan lagi.
Tanggal 26 Oktober, Kak Tobit berangkat mendaki tanpa
memberitahu kedua orangtuanya. Ia mendapat alat-alat yang dibutuhkan dari
temannya Rendy.
Sehari setelahnya (Hari ke-2), datang telepon yang
mengabarkan bahwa Kak Tobit telah sampai ke puncak Gunung Kendang dan minta
dijemput esoknya.
Hari ke-3, Tobit menelepon tapi tak terangkat. Ketika
ditelepon balik, tidak menjawab.
Sekitar seminggu kemudian Kak Tobit dinyatakan hilang.
*Hari ke-11, carrier berupa Deuter Futura pinjaman ditemukan
dalam keadaan terletak hati-hati, bukan terjatuh. Menurut Ibu, yang aneh adalah
keadaan barang-barang di dalam yang berantakan padalah Kak Tobit adalah seorang
yang rapi.
Dugaan kemudian, carrier itu ditinggalkan Kak Tobit saat
melakukan summit attack; perjalanan menuju puncak yang biasanya hanya membawa
bekal secukupnya.
Semua barang ditemukan kecuali yang melekat di badan.
*Hari ke-12, ditemukan sebuah topi.
Ada laporan yang mengatakan Kak Tobit terlihat di Gunung
Puntang, hingga pencarian meluas ke sana juga. Beberapa jejak dan tanda juga
ditemukan, anehnya tersebar di jalur turun yang berbeda.
Tanggal 25 November Kak Tobit ditemukan dalam keadaan
meninggal, dalam semacam cerukan di tebing yang curam. Kakinya patah dan
kepalanya terbentur cadas. Jadi para pencari selama ini hanya melintas di atas
atau dibawahnya karena tidak membawa peralatan yang memadai untuk mencari ke
sana (walau ada yang berdalih sudah pernah memeriksa).
Tak heran tidak ada yang mencium bau mayat, karena selama
itu Kak Tobit masih hidup. Seberapa ironisnya itu? Kini yang tertinggal hanya penyesalan.
Bayangkan. Untuk bertahan dengan kaki patah selama lebih
dari 2 minggu, mati perlahan-lahan, tapi tetap berjuang. Kak Tobit adalah
pejuang yang tak menyerah pada nasib hingga batas terakhirnya.
Seandainya mereka bisa menyelidiki setiap ceruk dan tebing
(Ibuku menyarankan demikian, FYI)...
***
Aku tak mengerti.
Di setiap buku atau novel, di setiap film, di setiap kisah,
seorang pahlawan yang berjuang dengan semua
kekuatannya berhasil pada akhirnya. Seperti Nando Parrado yang
pesawatnya jatuh di Andes dan terpaksa memakan jenazah teman-temannya. Seperti
Sinbad. Seperti Katniss saat menggulingkan Capitol. Seperti survivors di Seconds from Disaster.
Kenapa kisah yang ini berbeda? Kenapa harus berakhir seperti
ini?
Kak Tobit kuat secara fisik maupun mental. Apa kiranya
pikiran terakhirnya saat maut pasti datang, setelah segala usaha yang
dilakukannya?
Aku pun menyesal. Aku tak punya apapun untuk diberikan
selain tiga tetes air mata.
Sampai tulisan ini dibuat, upacara pemakaman Kak Tobit
sedang dilangsungkan.
Good bye. I salute you.
wah ada namaku. aku setuju dengan pendapatmu, seandainya tim SAR lebih teliti menyelidiki setiap ceruk dan tebing Tobit mungkin dapat lebih cepat ditemukan dan mungkin dalam keadaan yang berbeda. tapi aku sendiri juga menyesal tak bisa memberi bantuan apa-apa..
ReplyDelete