Monday, December 25, 2017

Kaderisasi

Tingkat tiga. Terhitung sejak SMA, aku sudah menghabiskan ratusan hari rasa kaderisasi sekental espresso. Inisiasi ini, diklat itu; bahkan menjadi dalangnya. Semuanya tampak sama.

Tapi untuk kali ini, - dan semoga kali terakhir selamanya, amin, karena aku sudah jenuh - kisah lama tak terulang kembali, karena aku memutuskan untuk muncul sebagai anomali.

Semester 5 lalu, yang baru saja berlalu, aku membuat keputusan yang menghasilkan reaksi unik ketika orang lain mengetahuinya. Antara aneh, salut, mendukung, sekedar “ck ck ck”, atau seringnya gabungan dari semua itu. Sebenarnya sederhana saja. Aku mendaftar ke sebuah unit di tingkat tiga, ketika kebanyakan orang bergabung di tingkat 1 atau selambat-lambatnya tingkat 2.

Mencoba menjadi bagian dari angkatan yang 2 tahun lebih muda, dengan aku berada dua tingkat kaderisasi di atas mereka (artinya aku mengader orang-orang yang mengkader mereka) merupakan pengalaman yang menarik. Karena aku menemukan, perbedaan tingkat ‘kader’ lebih kentara dibandingkan sekedar beda tingkat ‘akademik’. Ya, beberapa bulan belakang merupakan perjalanan antar strata yang agak asyik dan membingungkan.

Kondisiku saat itu bisa dijelaskan dengan status hubungan yang disediakan Facebook: it’s complicated. Tak lepas dengan status kader-mengkader, sesuatu yang sepertinya elemen vital dalam segala kegiatan berorganisasi dalam kampus ini, dengan segala peraturannya.

Ketika itu, aku sedang memegang jabatan sebagai Ketua Divisi Kaderisasi di KSR PMI unit ITB – sedang mengkader. Di saat yang sama, aku sedang dikader di unit yang baru kumasuki. Lebih dari itu, aku dikader oleh beberapa orang yang sebelumnya aku kader pada kesempatan lain, seakan kami bertukar posisi dalam sebulan; dikader oleh seseorang yang pada saat yang sama mengkader bersamaku di himpunan, dan aku berada dalam ampunan ketua kaderisasi yang tak lain adalah teman sefakultas, sedangkan aku juga sedang memegang jabatan yang sama dalam himpunan yang tidak beririsan.

Membingungkan, atau malah sangat sederhana? Yang jelas, ada sedikit, seujung kuku saja, kesulitan untuk memosisikan diri. Status kader adalah mutlak. Status diluar acara kaderisasi yang menjadi abu-abu, membuat segalanya sama tentatif dengan polarisasi akibat dipol sesaat-dipol terimbas; singkat, kadang positif, kadang negatif, suka-suka keadaan saja.

Dan yang paling konyol adalah, aku tahu sekat-sekat yang membagi kami dalam stata ini akan hilang. Memang dimaksudkan demikian. Cepat atau lambat, dalam suatu titik yang disebut ‘pelantikan’; yang menurut tradisi tentu akan didahului oleh acara puncak dengan bumbu agitasi, dihidangkan selagi hangat.

 So what’s the point of all this? Sebuah sekat sengaja dibangun untuk dirobohkan?

Pada dasarnya, kaderisasi turun dari kebutuhan suatu organisasi untuk melakukan regenerasi anggota, tak lain untuk memastikan kelangsungan organisasi tersebut. Maka tak heran senyawa penyusun dasarnya adalah serupa; penurunan nilai dan kekeluargaan, dengan salah satu tujuan utama komitmen. (Btw, aku penasaran siapa yang pertamakali menciptakan metode buku angkatan. Ia pasti bangga metodenya seakan jadi metode wajib dalam kaderisasi).  

Beberapa organisasi melangkah lebih jauh dengan metode memberikan identitas kolektif terhadap kadernya, misalnya dengan menghapuskan sama sekali penggunaan nama kader dan hanya menyebut NIM, seperti di himpunan.

Tapi terlepas dari hasil evaluasi, apakah kaderisasi berhasil atau harusnya diulangi, aku penasaran berapa banyak yang benar-benar melihatnya sebagai proses transformasi. Barangkali sebagian menanggapnya tak lebih dari sekedar birokrasi, sebuah anak tangga yang tak bisa dilompati, suatu jadwal wajib dalam to-do-list organisasi; terlepas dari perlu-tidaknya kaderisasi.

Singkatnya, aku bertanya-tanya apakah kebutuhan regenerasi organisasi hanya beranak tunggal, yaitu kaderisasi/inisiasi.

Now that I think of it, ada lagi. Organisasi yang dimana status awal dan akhirnya bukan pengkader dan kader, tapi sama rata ‘saudara’. Tapi itu sudah fitrahnya. Tapi untuk kebanyakan kasus, hal ukhuwah memang perlu direkayasa.

Atau perlukah?








No comments:

Post a Comment