Wednesday, December 19, 2012

Story of This Year: Seeing Someone Else's True Colors

Seperti yang dikisahkan seorang teman.



----

Dia itu egois.
Dia itu sok.
Dan sialnya, gue mesti sekelas sama dia.

Lo ga bakal bisa deh bayangin kelakuannya di kelas. Guru tuh kayak udah dikasih madu sama gula, dia jilat aja terus. Dan sayangnya mesti diakui, dia tuh pinter. Ranking atas. Damn her brain.

Dia juga jutek dan dingin. Nyebelin abis.
Diajak ngobrol nggak bisa, diajak bercanda diem aja. Nggak mau bergaul dengan anak lain. Kerjanya di kelas doang, diam. Nggak aneh dia nggak punya teman. Pelit lagi. Sombong banget soal pe-er.
Dan itu satu-satunya kutukan gue yang mengena, nggak punya teman setelah gagal secara akademik di kelas.

Makannya, udah beberapa bulan ini dia kalo pulang pasti sendirian. Forever alone, rasain aja. Dan ga punya teman juga, apalagi teman dekat ato sahabat.

Gue secara nggak sadar ngejauhin dia, sampai suatu hari sesuatu merubah persepsi gua.

Hari itu mendung, dan banyak anak buru-buru pulang, khawatir kemalaman kejebak hujan. Dan gue terlambat, sebab hujan turun sewaktu gue udah di angkot padahal gue harus turun ganti angkot jurusan lain untuk pulang.

Ketika gue turun, hujan udah begitu derasnya dengan curah hujan 0,3 mpbk alias 0,3 menit pasti basah kuyup. Gue lari ke naungan sebuah bangunan untuk berteduh. Dan secara nggak sengaja, gue lihat si anak itu di pelataran McD di seberang jalan, basah kuyup juga. Kalau jaket sama roknya diperas, ada kali air seliter.

Tak lama kemudian  gue liat ada cewek masih SMP turun dari angkot dan langsung lari nyari tempat berteduh, persis kayak gue tadi cuma dia lari ke pelataran McD. Begitu ngeliat si cewek SMP, anak itu spontan nyisihin tempat sambil tersenyum. Gue rasa ini pertama kalinya dia tersenyum. Gue amati lagi dari jauh.

Tepat ketika itu ada angin besar datang dan hujan pun masuk ke pelataran, ngebahasahin orang-orang yang berteduh di sana. Terus ada seorang kakek ikut berteduh, gelagapan karena hujan. Nah si nyebelin itu naikin tudung jaketnya, terus melangkah ke pinggiran pelataran yang pastinya kena hujan untuk nyisihin tempat lagi (soalnya pelataran penuh) sekaligus nyediain punggungnya sebagai penahan hujan. Angin nggak bisa banyak nuipin hujan masuk ke pelataran sekarang. Gue lihat si anak SMP tersenyum ke dia.

Aku nggak tahu dia bilang apa ke anak itu, tapi ketika dia berbalik untuk ngelihat petir, dia tersenyum juga. Gue tercenung dan rada bingung mencari kemana anak egois yang gue tahu itu pergi. Bukan...

I see your true colors...

Dan saat itu gue sadar, rasanya gue udah salah menilainya.
Soalnya kalau dibandingin dengan diri gue sendiri, gue udah BT banget mesti pulang dengan baju sumber air bah kayak gini.

Kemudian hujan mereda dan satu per satu orang-orang pergi ninggalin pelataran. Tapi anak itu masih di tempat, ngobrol sama pengamen-pengamen  yang juga berteduh di situ. Gue mendekat, naikin tudung jaket biar ga dikenali, dan bersyukur gue udah ganti baju tadi... seragam gue aman udah di tas.

Gue mendekat dan gue bisa lihat dia sekarang lagi nyanyi bareng pengamen-pengamen itu. Dan dengar mereka menyanyikan ini, matanya agak berbinar:

...kami hambamu
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan

Oh, gue nggak pernah ngira dia suka Iwan Fals.
Gue terus melangkah, dan selama suara nyanyian itu masih ada dalam jangkauan pendengaran gue, gue masih dengar lanjutan lagu itu.

Walau hidup adalah permainan
Walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan
Dan kami.. juga bukan hiburan

***

Di angkot gue memikirkan kejadian barusan. Gue nggak ingat kapan lagi gue pernah lihat mulutnya nggak cemberut atau matanya nggak menatap jutek.

Gue mulai lebih merhatiin dia hari-hari berikutnya, dan mendapati ternyata dia bisa juga ngobrol ringan sama beberapa anak kelas lain. Sikap dinginnya mungkin cuma topeng yang dia gunakan di kelas. Mungkin sebagai tameng karena beberapa anak ada yang greget gangguin dia terus.

I see your true colors
Shining through

Beberapa bulan telah berlalu, dan beberapa orang udah mulai melihatnya sebagaimana dirinya sendiri. Dan rasanya dia udah nggak begitu menyebalkan lagi.

I see you true colors
That's why I like you
So don't be afraid to let them show..

Ternyata penilaian gua cuma dari apa yang gue dengar dan gue dapatkan. Cuma dari apa yang sebenernya menurut gue mesti dia lakukan, tapi ternyata enggak.
Gue nggak suka pada sifatnya yang ternyata cuma atasnya doang.

There are every type of person, dan sepertinya gue menemukan orang yang punya mutiara di bawah lapisan debu.

Kurasa seharusnya kami menegurnya baik-baik atau memberinya waktu untuk beradaptasi. Someone has done that, obviously. Setiap orang berbeda-beda, dan untuk menjalin lingkungan pertemanan yang baik kita harus saling kenal satu sama lain lebih dahulu...

Mengenal seseorang hanya membutuhkan pengorbanan berikut: hati yang lebih terbuka, waktu luang sedikit lebih banyak untuk memperhatikan seseorang, dan sedikit usaha untuk berteman, dan sedikit kesediaan untuk menerima.



True colors..
True colors..
Are beautiful like a raibow..

----

jujur cerita itu punya pelajaran yang bisa kuambil.. pelajaran yang berharga karena aku ikut terlibat.

No comments:

Post a Comment