Ini UAS pertamaku setelah 5 tahun lebih lamanya homeschooling... which means, aku nggak pernah mengecap yang namanya sekolah SMP formal. Dan untuk itu, ada baiknya ya ada sisi kurang enaknya juga.
Sisi baiknya, kalau memang bisa disebut begitu, aku biasa meng-handle segala pelajaranku sendiri. Aku biasa menghadapi konsekuensi perbuatan yang memang perbuatanku. Tapi...
Sebenarnya nggak banyak keluhan ada (dari diriku sendiri) untuk lingkungan baru persekolahan ini. Yang banyak malah dari teman-teman baru. Kebiasaan dan cara yang berbeda dari anak-anak biasa. Salah satunya, keluhan karena aku pelit ngasih jawaban saat ujian atau ulangan. Misalnya ketika UTS Juli lalu... aku merasa ada yang membicarakan aku di belakang, dari pura-pura tuli saat dipanggil-panggil sampai selalu memberikan jawaban yang salah karena nggak ikhlas.
I admit it, aku memang sempat mempertimbangkan untuk menyalahkan salah satu jawaban UTS IPA waktu sekalinya ditanya, aku ditanya 4 atau 5 soal sekaligus. Perlu diingat, bolehlah bilang egois atau apa, tapi aku nggak rela jawabanku diminta oleh anak yang nggak tahu jawabannya kalau mereka karena terlalu malas. Satu atau dua, okelahsilahkan. Tapi sejumlah sebanyak itu? Hatiku agak terusik. Dia berhak salah kalau jawabannya salah, dan aku berhak mendapat nilai kalau jawabanku benar. Aku sempat ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk memberikan jawaban sebagaimana aku menjawabnya karena merasa tak enak menyalahkan kepercayaan yang sudah diberikan kepadaku. Hasilnya?
Batinku agak tertekan, dan hati pun tak puas. Seperti peribahasa Sunda, ambek nyedek tenaga midek. Rasa sebal cuma memenuhi hati sendiri, nyedek sampe kecekek bikin capek.
Bukan soal waktu ujian saja. Untuk sekedar memberikan PR yang sudah dikerjakan sepenuh hatipun dulu rasanya kurang rela. Karena siapa yang kerja, siapa yang enak? Tapi dengan begini, di tengah linkungan yang sudah terbiasa salin-menyalin PR, aku hanya akan dipandang sebagai teman yang nggak punya rasa solidaritas.
Hal ini pernah kubicarakan dengan seorang teman sekelasku demi menjernihkan suasana. Kuberitahu, alasanku bukan cuma keegoisan semata. Maksudku bagaimana mereka bisa belajar kalau tugas-tugas mereka hanya menyalin? Untukku kecil kemungkinan mereka mengerti dan belajar kalau hanya begitu. Bagaimana nanti di ujian?
Jawabannya masuk akal meskipun belum sreg untukku. Biarpun begitu, katanya, yang rugi kan bukan aku. Kalau mereka nggak mau belajar, salah sendiri. Kalau ulangan jelek, salah sendiri. Nggak akan berkurang ilmuku, menurutnya. Malah mungkin nambah pahala karena sudah membantu mereka. Nah.
Mungkin masalahnya di rasa tanggung jawab. Bukan berarti aku adalah murid teladan dermawan panutan segala panutan, toh banyak tugas-tugas yang kuberikan terlambat. Namun menurutku PR atau tugas diberikan guru agar kita bertanggung jawab akan kewajiban kita. Kita pelajar, ya kewajibannya belajar. Tugas dan PR diberikan karena mereka, para guru, percaya kita dapat mengerjakannya.
Untuk teman-teman yang tak punya banyak waktu, misalnya karena rumahnya jauh sehingga pulang malam atau kegiatannya banyak, nggak masalah untuk saling membantu. Tapi kalau waktunya habis karena ia menempatkan tugas di bawah kegiatan yang…. Yah begitulah. Apalagi kalau prioritasnya jauh di bawah social life.
Oh, OK. Social life.
Boleh dibilang, sampai sekarangpun aku belum bisa dibilang punya ‘kehidupan sosial’, kalau bandingannya adalah kehidupan sosial versi anak-anak kebanyakan. Coba bandingkan: aku, yang tak punya handphone karena terhitung 2 bulan terakhir ini sudah dua kali hilang, dan selalu go straight home kalau nggak ada ekskul, dan mereka, yang senantiasa keep in touch dengan siapapun setiap menit, bahkan saat jam pelajaran, lewat BBM dan lain-lainnya itu. Belum lagi main sepulang sekolah dan jalan-jalan.
Lagipula, I can’t afford to go shopping or etc. even for once a week. Boro-boro, uang ongkos pulang selalu habis TOTAL kalau aku pulang kemalaman dan naik ojek. Dan aku nggak punya uang jajan.
Enggak masalah denganku, benar. Tapi kehidupan yang berbeda membuatku tak bisa mengikuti, itu pun kalau aku ingin mengikuti. Aku tak bisa mengerti mereka.
KEMBALI KE SOAL KEPERCAYAAN DIRI, karena sudah terlalu panjang dan aku belum belajar untuk besok.
Setelah kejadian saat UTS, aku mulai masa-bodohkan soal kerja sama. Mereka minta jawaban, kukasihlah. Kini UAS sudah jalan dua hari. Dan kau ingin tahu bagaimana perasaanku? Kosong.
Kalau ada yang harus dipersalahakan, menurutku ialah pengawas ujian yang lembek. Boleh jadi di depan pintu terdapat kertas peraturan larangan menyontek. Bolehlah kepsek sudah mewanti-wanti. Bolehlah sebelum ujian mulai kami sudah diperingati. Toh kenyataannya, biasanya mereka tak peduli siswa saling bisik-bisik atau bahkan googling lewat ponsel saat ujian.
Aku tak membenci teman-temanku. Pun tidak mencap mereka jelek dalam pandanganku. Aku hanya menyayangkan mereka harus begitu mengandalkan orang lain untuk sesuatu yang sebenarnya dapat mereka capai dengan usaha sendiri. Hal ini begitu menggangguku karena ternyata aku peduli kepada mereka. Aku sangsi mereka akan dapat terus bertahan dengan cara begitu.
Aku coba menyayanyi mereka sebagaimana aku menyayangi diriku. Seperti sunah Rasul :’)
Tambahan.
Aku pernah menyentil temanku yang pinjam PRku. Dia asyik dan
baik, dan aku suka padanya (maksudnya enak dijadikan teman, gitu). Dia juga
nggak memaksa sama sekali, bahkan selalu menanyakan kesediaanku meminjamkan
terlebih dahulu (“Ikhlas, nggak? Ikhlas nih bener?”). Dan aku berikan dengan
tambahan, “When will you ever learn, bro?”
Dia jawab dia nggak ngerti pelajarannya. Tapi kemudian ia
meminta diajari, and I thought…
Ini dia penyelesaian yang baik! Aku mungkin nggak selalu memberikan jawaban, tapi aku dengan senang hati menunjukkan caranya… so you can get the answer by yourself.
Sayangnya, tak semua orang tahan mendengar aku bicara.
Dan sayangnya, aku baru bisa berbicara sendiri saja di sini.
Sama.jika tak meminjamkan PR,dibilang tak punya rasa solidaritas tapi saat meminjamkan aku sangat kesal. Walaupun sudah meminjamkan PR dan memberi jawaban aku tak dianggap teman hanya dimanfaatkan.
ReplyDeleteSetuju. Yang seperti itu malah lebih nggak enak lagi.
DeleteMeminjamkan PR untuk tanda solidaritas; apa gunanya kalau bagaimanapun tidak dianggap teman?