Monday, January 17, 2011

"Selamat Datang di MARKINON!"




Design for the dump – diciptakan untuk dibuang”. Dalam jaman yang serba hi-tech ini kita seakan tak bisa hidup tanpa gadget atau barang elektronik. Selayaknya sembako, begitu kata orang. Bahkan di kampung-kampung, televisi ataupun ponsel bukanlah hal yang asing lagi. Tapi tahukah kau kemana perginya barang-barang itu, ketika telah tak digunakan lagi alias rusak?

Jum’at, 14 Januari 2011. Jl. Piit no. 5 yang tak lain tak bukan adalah markas WALHI Jabar, siang agak sore.YPBB kembali menyelenggarakan kegiatan nonton bareng, dan ruang pertemuan pun dipenuhi penonton yang mulai berdatangan. Pukul 16.13 Rikrik dan Taruna yang menjadi MC plus moderator membuka acara, dengan duet kocak seperti biasa. Mereka memberikan sekilas informasi mengenai MARKINON, dan dimana saja telah diadakan.

“Ketika di SMA Albidayah pesertanya masih pada pake seragam abu-abu putih semua, ketika diajak ngobrol kebanyakan malu-malu, tapi lama-lama malah malu-maluin...”

Akhirnya film diputar, dan itu juga berkat Rima yang telah berususah payah menempelkan subtitle hingga detik terakhir...

MARKINON, mari kita nonton!

Film pertama berjudul Story of Stuff oleh Annie Leonard (Direktur The Story of Stuff Project) yang, sayangnya, tanpa subtitle karena masalah teknis. Selama 21 menit berceritalah Annie tentang bagaimana orang-orang mengeksploitasi hutan dan membawa hasilnya ke pabrik, dan menambahkan racun-racun pada produk-produknya.

Toxic in, toxic out...

Barang-barang itu kemudian didistribusikan kemana-mana, melewati sebuah golden arrow of consumption dan sampailah barang-barang itu ke rumah kita, para konsumer.

Di film kedua, Story of Electronics, Annie membuka mata (hati) kita tentang bahaya sampah elektronik alias e-waste. Sadarkah kau bahwa semua barang yang kita punya berasal dari alam, tapi kembali lagi dalam bentuk sampah yang bahkan merusak alam itu sendiri?

Kita selalu menginginkan barang baru. Bisa kita rasakan sendiri betapa fashion dan barang-barang elektronik berubah trend begitu cepat. Beberapa dari kita mungkin bekerja keras dan mengeluarkan uang hanya untuk mengikuti trend.....dan menumpuk hasilnya di rumah!

Dan sadar tidak; kita bisa kehilangan (dan membuang) seluruh komponen komputer hanya karena sebuah chip kecil.

Menurut Badan Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) ada 20-50 juta ton sampah elektronik yang dibuang setiap tahunnya, dari seluruh penjuru dunia. Sedangkan peningkatan volume limbah elektronik mencapai 3-5 persen per tahunnya, tiga kali lebih cepat dari limbah umum. Dengan tingkat mendaur ulangnya tak sampai 10%, coba tebak kemana perginya 90% sampah lainnya.

Di film kedua ini dan film ketiga (kali ini dengan subtitle) diceritakan bagaimana perjalanan sampah elektronik dari tempat sampahmu sampai ke tujuan pembuangan favorit: negara miskin dan berkembang. Yup, kesanalah mereka membuang barang-barang elektronik bekas itu, menumpuknya di sana. Mungkin darimu akan segera terlontar protes untuk para produser: “Mengapa tak kaudaur ulang sampah-sampah itu?”

Tapi jika dilihat dari sisi mereka, coba balik pertanyaannya. “Mengapa harus bersusah-susah mendaur ulang, kalau bisa mendapatkan material langsung (dari alam) dengan harga yang lebih murah dan mudah?”

Lagipula, bukankah lebih sulit jika harus memilah-milah bahan yang sudah tercampur jadi satu? Misalnya BAJA stainless = besi + krom + mangan + silikon + karbon + nikel + molybdenum.

Jadi, jauh lebih mudah bagi mereka untuk mengirim sampah itu dalam label ‘barang bekas’ ke negara-negara di Afrika seperti Ghana, daripada harus mengolah kembali sampah itu. Pembakaran lewat insenerator bukan jalan keluar yang baik, karena ketika e-waste dibakar mereka melepaskan dioxin dan logam berat seperti timbal ke udara. Plus ada zat kimia berbahaya seperti barium dan merkuri yang dapat meracuni tanah.

Mari kita lihat penderitaan penduduk miskin di Ghana. Pekerjaan mereka sebagai pemburu logam berharga dari sampah-sampah elektronik itu membutuh pengorbanan besar. Untuk tembaga, misalnya. Mereka harus membakar kabel-kabel itu terlebih dahulu sampai karetnya hancur, lalu mengambil tembaganya.

Pekerjaan yang berat – sangat berat. Mereka yang berkeliaran dan senantiasa meracuni diri sendiri di tengah sampah. Merekalah orang yang harus mengorbankan kesehatan dan kelangsungan hidupnya karena apa yang kita buang. Kami menonton dengan hati tercekat sambil memakan keripik kentang, kue berbahan dasar tepung ganyong dari Rikrik, dan permen jahe dari Taruna =P

Bagaimanapun, Basel Action Network pada tahun 2006 mengemukakan bahwa sedikitnya ada 100.000 unit produk elektronik yang masuk ke Lagos, Nigeria, setiap bulannya. Dan menurut Achim Steiner, kepala UNEP, pakar setempat memperkirakan 75% dari produk itu sudah tak dapat lagi digunakan alias e-waste.

Jadi masihkah kau mau mengikuti trend barang elektronik yang berubah-ubah begitu cepat seperti lampu disko, dan melengkapi penderitaan mereka?

Sesi Diskusi

Di sini saya menarik kesimpulan bahwa kebutuhan kita pada barang-barang elekronik bisa menyeret (atau memang sudah) kita menjadi bangsa yang konsumtif.

“Dengan kita memiliki kebiasaan konsumtif, kita dipaksa untuk bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan tersebut, padahal kita mungkin engga terlalu butuh..” begitu kata Kang Ari

Dea berkata, “Barang reuse itu prinsipnya merugikan orang lain. Kalau makin banyak beli barang abal-abal, umumnya barang cepat rusak dan masa pemakaiannya sebentar. Semakin meningkatkan konsumtivitas, serta merugikan konsumen.”

“Memang banyak barang-barang seperti itu yang sekarang hanya bisa dipakai sebentar,” komentar Igoy.

Bagaimana dengan ‘penghematan pembelian barang dengang sistem warisan’? “Misalnya, HP yang saya pakai sekarang ini warisan kakak saya..” seseorang angkat bicara. Kiki, sebagai anak bungsu di keluarganya, berpendapat, “Biasanya saya mendapatkan barang warisan. Meskipun mengurangi kebutuhan barang saya, namun kakak saya yang paling besar tetap konsumtif, tetap membeli yang baru.”

Kang Ari menyarankan untuk memperkuat niat memakai dan menjaga barang lebih lama dengan nilai historisnya. “Misalnya hp pertama yang dibeli sendiri, gitu... jadi kita bisa bertekad untuk menggunakannya hingga saat terakhir.”

Lain lagi dengan Dea, yang menyarankan untuk “memilih barang dengan kualitas yang memang bagus untuk memperpanjang masa ‘berguna’nya”.

Masalah lain yang diperbincangkan adalah penggunaan charger yang berganti-ganti, karena charger ponsel versi lama berbeda dengan ponsel versi terbaru. “Saya kepikiran sama orang yang desain produk, coba pikirkan barang yang green, bukan keindahan dan daya jualnya saja,” kata Fariz.

Kemudian, ada Bram yang memanfaatkan PC bekas utnuk tempat menyimpan film. Bani (dan Maya yang duduk disampingku) bercerita tentang penggunaan monitor-monitor bekas sebagai hiasan tugu di UPI. Ami mengisahkan ayahnya yang punya kebiasaan membeli barang elektronik bekas, dan kebetulan punya teman yang bisa meng-upgrade barang-barang seperti itu. “Jadi, di rumah saya ga pernah beli barang baru, yang ada barang elektronik bekas yang diperbaiki ulang. Intinya adalah memaksimalkan kegunaan barang.”

“Setiap hal kecil yang kita lakukan mungkin saja berdampak besar bagi lingkungan kita, bahkan buat orang yang kita cintai...”

blogger-emoticon.blogspot.comblogger-emoticon.blogspot.comblogger-emoticon.blogspot.com

Di saat-saat terakhir terpikir olehku untuk meminta semacam testimoni dari kawan-kawan saat itu. Karena benar-benar baru sekali ini nih ditugaskan meliput sesuatu, cuma sedikit yang berhasil diliput. Ini dia..

Menurut gue, MARKINON itu...

“Sangat seru, sangat menyenangkan. Banyak info yang diperoleh. Biasanya kita tidak menyadari bahaya sampah. Membuka pikiranku, dan setidaknya mengingatkanku untuk lebih bijak dalam menggunakan barang elektronik... dan menggunakannya sesuai kebutuhan.” – Bani

“Membuatku berpikir untuk mengubah gaya hidup. Aku jadi tahu aku tak bisa membeli dan membuangnya begitu saja. Seperti mendapat hidayah...” – Faiza

“Terlalu hebat untuk dilewatkan!” – Nan

5 comments:

  1. semoga cukup lengkap, soalnya aku ingin orang-orang yang membaca tidak hanya tahu apa yang kita lakukan, tapi juga mendapat apa yang kita dapat..

    ReplyDelete
  2. Sayang, teu bisa hadir. Jadi gak enak sama Teh Anil. Sukses ya, Nan, dengna tulisannya yang bernas ini ^_^

    ReplyDelete
  3. yo'a.. trims semua^^

    MARKINON februari kapan yah..

    ReplyDelete