Thursday, November 3, 2011
[KAIL] Arpillera : Karya Istimewa dari Perca
Minggu, 27 Oktober 2011... Awan mendung memberati langit, tapi suasana di Galeri Padi yang bertempat di Jalan Dago nomor 239 jauh dari suram. Riuh rendah para peserta lokakarya tentang arpillera sudah terdengar sejak menapaki halaman. Kegiatan yang diikuti sekitar 40 orang (tidak menghitung peserta 'tak diundang') ini diadakan oleh KAIL, lembaga nirlaba yang "salah satu misinya adalah mendukung kerja-kerja aktivis agar lebih efektif".
Kegiatan direncanakan mulai dari pukul 13.00 - 17.00
Satu jam pertama berlalu dengan saling memperkenalkan diri dan pengenalan serta sejarah singkat tentang arpillera dari salah satu pendiri KAIL, Intan Darmawati alias Hunk. Pada sesi ini, satu per satu para peserta menyebutkan nama mereka, lalu menunjuk satu arpillera favorit diantara sejumlah arpillera yang digantung di dinding ruangan dan alasannya. Mereka juga menyatakan apa yang dirasakan saat melihatnya. Ternyata, arpillera yang sama dapat ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda.
Arpillera adalah sarana menyampaikan pesan, mengekspresikan suatu maksud lewat rangkaian kain perca, demikian penjelasan tante Hunk. Pada umumnya, arpillera banyak menggambarkan kehidupan sehari-hari. Arpillera pertama kali dikembangkan sebagai senjata perlawanan di Chile.
Alkisah, pada tahun 1973 Augsto Pinochet diangkat menjadi Jendral dan saat jaman kediktatorannya dimulai, sering terjadi penculikan terhadap kaum lelaki yang dicurigai sebagai pemberontak dan banyak diantaranya yang tak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Tinggallah kaum perempuan yang sepertinya masih mendapat diskriminasi gender. Arpillera-arpillera awal banyak menggambarkan usaha para wanita ini memperjuangkan hidup, mencari keluarga mereka yang hilang, juga bagaimana mereka berusaha bangkit. Arpillera juga merekam berbagai event historis semisal keruntuhan rezim Pinochet. Bahkan, cerita tante Hunk, arpillera menjadi salah satu faktor keruntuhan itu.
Setelah cerita usai, para peserta mengambil alat-alat jahit dan dengan semangat mulai mengubrek-ubrek sekantong besar perca sumbangan, mencari kain yang cocok. Yang lainnya menggambar pola pada kain belacu mereka lebih dulu.
Membuat arpillera adalah seni yang cukup 'bebas', karena yang ditekankan bukanlah faktor estetika melainkan pesan yang ingin disampaikan. Semua orang pun bisa membuatnya sendiri (dengan orang yang tak bisa menggunakan kedua tangannya sebagai pengecualian, mungkin), dan keterampilan yang dituntut paling hanya skill menjahit dasar.
Untuk permulaan, sepertinya berbagai macam masalah dialami para peserta. Beberapa bingung akan membuat apa, beberapa sudah punya ide tapi belum tahu bagaimana menuangkannya, beberapa bingung dengan rancangannya yang berubah-ubah, dan beberapa masalah teknis seperti memilih warna dan cara menjahit.
Ternyata waktu beberapa jam yang tersisa memang tak cukup untuk menyelesaikan sebuah arpillera yang - menurut tante Hunk - idealnya memerlukan 5 hari. Di akhir acara, kebanyakan karya masih disatukan dengan jarum pentul. Sambil duduk mengelilingi kain-kain belacu yang kini berwarna-warni itu, kami masih mendengarkan 'petuah' tante Hunk tentang pemilihan benang dan kain latar, teknik menjahit, serta tips and trick lainnya.
Dikarenakan banyak peserta masih ingin meneruskan arpillera setengah jadi mereka sedangkan waktu pertemuan sudah habis, disetujui diadakan pertemuan kedua yang akan diadakan tanggal 27 November nanti, yang pastinya dinantikan oleh para arpilleris. Jangan lupa!
catatan penulis
sambil mengisap jari yang tertusuk jarum, aku memikirkan ibu-ibu penjahit yang biasa duduk di sebuah kios di suatu pusat perbelanjaan. Ternyata menjahit bukan perkara mudah! Dan melihat hasil jahitanku yang berantakan, jelaslah bahwa aku tak cukup cakap dalam hal ini. Tapi tak apa! Arpillera-ku akan jauh lebih bagus tanpa jarum-jarum pentul itu...
2 November 2011
11.24 PM
Nadira Nanda P.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment