Tuesday, August 19, 2014

Rinjani Trip : Preparations and the Way to Get There

Pengantar
 Silahkan baca post ini terlebih dahulu :) 

14 Juni 2014
            Baik. Aku sudah memutuskan.
        Aku akan ikut Ibu dan Izzan... ikut mendaki Gunung Rinjani nun jauh di pulau bernama Lombok sana
. Dan karena aku bergabung di saat-saat terakhir, baik persiapan fisik dan persiapan logistik dilakukan dengan SKS; Sistem asal Kelar Saja. Jangan ditiru, tidak baik untuk keselamatan.
            Dengan hanya beberapa hari tersisa, aku memutuskan bahwa renang adalah cara paling efektif untuk mempersiapkan tubuh, terutama pernapasan mengingat ini akan jadi kali pertama aku mendaki diatas 3000 mdpl. 3700-an pula. Gunung terakhir yang kucapai puncaknya adalah Gunung Burangrang; hanya 2068 mdpl tingginya. Jadi aku berenang setiap hari, minimal 3 x 200 meter nonstop... saja.
            Dengan daftar barang dibuat – aku menghabiskan 2 lembar kertas binder, penuh - jauh lebih mudah untuk mengepak barang. Di saat-saat terakhir, aku membeli (dibelikan, sebenarnya) barang-barang tambahan seperti gaiter, yang pasti berguna sekali saat summit attack, dan sarung tangan yang bagus. Sambil menimang harta baruku itu, suatu target terpatri di hati : I'll do my best!

17 Juni 2014
            Malam. Akhirnya packing selesai. Aku akan berangkat besok.
            Menggunakan kantong plastik dengan seal untuk membungkus barang-barang adalah ide cemerlang. Selain lebih rapi dari kantong keresek biasa, kantong dengan seal dapat mengompres udara keluar sehingga memudahkan pengepakan. Berkatnya, boleh dibilang ini adalah packing terbaik yang pernah kulakukan, menimbang semua barang yang ada dalam daftar (kecuali botol air) masuk ke dalam Deuter Futura 45+10 L-ku... dengan sebagian kecil masuk ke daypack.
            Sebuah buku merah kecil, dan pensil kayu 2B sepanjang kelingking. Dua benda yang kuberi perhatian khusus dalam pembungkusannya. Dalam upaya untuk mengefisienkan beban, hanya dua benda itulah alat tulis yang kubawa. Bukan hanya masalah batas beban yang bisa ditaruh di bagasi pesawat nanti, tapi juga karena kami bertiga tidak menyewa porter, semua beban harus dibawa sendiri selama pendakian 4 hari nanti.
            Segalanya diringankan. Pakaian ganti. Sepatu. Botol-botol lotion dan pembersih lensa kontak. Kertas-kertas pembungkus makanan yang tak diperlukan dibuang, diganti plastik seal.
            Kuangkat carrier-ku. Berat, tapi juga tak berat. Maksudku, sekarang memang terasa ringan, tapi bagaimana rasanya setelah memanggul seharian, mendaki gunung? Kugantung ia di timbangan, nyaris 10 kilogram beratnya. Penimbangan di bandara pertama : maksimal 15 kilo. Penimbangan di bandara kedua: maksimal 10 kilo. Pasti lolos.

18 Juni 2014
            Begini rencananya: karena aku nimbrung di saat-saat terakhir, aku akan naik pesawat yang berbeda dengan Ibu dan Izzan. Mereka dini hari ini akan berangkat lebih dahulu, subuh, dan aku akan menyusul siangnya. Sendiri. But what really happened was the other way round.
            Ibu dan Izzan pasti harus berangkat pagi sekali. Setidaknya, begitulah pikirku. Begitu aku bangun, mereka seharusnya sudah lama pergi. Maka betapa terkejutnya aku ketika terbangun sekitar pukul 8 dan mendengar suara Ibu sedang bercermin. Ya, aku hapal suara ibu di depan cermin.
            Aku pasti salah hitung tanggal; mengira sekarang sudah tanggal 18...
            Kalender handphone juga menunjukkan tanggal 18. Mataku juga salah?
            Tidak, aku tidak salah baca kalender, tapi ibu yang salah membaca waktu yang tertera di tiket. Singkat cerita, ketika mereka sampai di bandara, pesawatnya sudah melaju kencang di ketinggian 10000 kaki, terbang menyongsong mentari terbit, menembus awan menuju Pulau Dewata. Ibu dan Izzan ketinggalan pesawat.


            Maka yang terjadi adalah aku berangkat duluan sendiri, check in sendiri dimana berkat bantuan Yang Di Atas berjalan lancar (saking gugupnya aku MENJATUHKAN TIKET PESAWAT sesaat setelah menaruh bagasi. Beruntung aku sadar ada sesuatu yang terjatuh di dekat kakiku. Nah lho), dan berhasil mencapai ruang tunggu tanpa tersesat.
            Kuraih daypack-ku. Dari kantung paling depan, kuraih sesuatu. Buku notes kecil berwarna merah. Jurnal perjalananku kali ini.

            12.01 WIB
            Ruang tunggu Husein Sastranegara Airport, Bandung. Boarding terlambat.
           
            Boarding time yang tertera pada tiket, yang resmi, adalah T+31 menit dari angka yang ditunjukkan jarum jam di dinding. Aku mulai gelisah. Ruang tunggu amat penuh hingga tempat duduk diperoleh dengan hukum tak tertulis “siapa cepat, dia dapat”. Sewaktu check in, mbak penjaga berkata bahwa tak akan ada delay. Aku bertanya-tanya, barangkali aku telah mengikuti jejak Ibu dan Izzan, ketinggalan pesawat, tapi tak sadar sama sekali.
            Betapa leganya ketika mengetahui bahwa orang di sebelahku ternyata penumpang pesawat yang sama. Seorang perempuan muda, baru bekerja, yang bertempat tinggal di Lombok Timur. Ia menceritakan pekerjaannya, bandara internasional di Lombok yang baru, serta pantai pasir Pink di Lotim. Kami mengomentari hujan di Jawa Barat, suhunya, awan mendung yang tampak mengancam, dan kebersihan pasar. Aku bercerita tentang gunung-gunung serta curug-curug di sekitar Bandung, serta rencanaku pergi ke Lombok Barat.
            Akhirnya, sekitar 15 menit kemudian, pesawat kami siap untuk bertugas. Aku dan kenalan baruku terpisah karena tempat duduk yang berjauhan. Menaiki pesawat LionAir ini, I couldn't help thinking how small it was. Yakin pesawat ini bisa lepas landas dan bukannya melaju terus dan menabrak apapun yang ada di ujung landas pacu?
            Ah, pilot, engineer pesawat, dan siapapun yang membangun landasan pasti lebih tahu.
            Jadi aku naik, duduk di kursiku dekat jendela, dan memasang kacamata hitam dengan tertib. Lalu sesuai dengan pengumuman merdu yang keluar dari speaker di atas kepala kami, aku menyaksikan peragaan alat keselamatan dengan sikap tenang terpuji. Perhatian penuh.
Promosi Lion Air
            Pesawat lepas landas, hatiku melambung senang, perutku seperti ditinggal 1 kilometer di belakang.

            15.25 WITA
            Tiba. Ambil luggage. Tak ada yang hilang. Perjalanan menurut pilot 1 jam 20 menit.

            Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Akhirnya aku menginjakkan kaki di Bali, kali kedua setelah belasan tahun. Berlama-lama berjalan saat menuju terminal, kunikmati paparan sinar matahari di kulit, bau asin samar dari laut yang terletak dekat dengan bandara.
            Barang-barang bagasi kembali pada para pemiliknya melalui ban berjalan yang berliku-liku. Selagi menunggu carrier Futura keluar, ku-SMS pihak-pihak yang berhak diberi tahu posisiku kini. Ibu dan Izzan baru akan sampai beberapa jam lagi, dengan pesawat yang tiketnya harus mereka beli lagi. Sebaiknya aku mencari tempat menunggu, yang kuputuskan adalah...

            16.52 WITA
            Mushala NR Airport.

            Akhirnya, yang kutunggu datang menjelang maghrib. Aku telah melahap majalah gratisan, brosur-brosur, apapun yang bisa dibaca dan mengandung tulisan selama menunggu. Tak peduli bahwa tulisan itu dalam kana dan kanji, misalnya. Adzan maghrib berkumandang tepat ketika kami melangkah keluar dari pintu kedatangan domestik Bandara Ngurah Rai, tas dan carrier terangkat gagah bagai backpacker tulen.
Tiba di Bali. Ibu dan Izzan
           
            Kami akan bermalam di suatu tempat dekat bandara, oleh karena itu kami berjalan menenteng beban menyusuri jalan. “Punggung tegak, langkah mantap. Punggung tegak, langkah mantap,” adalah mantra yang kuulang-ulang saat membiasakan diri membawa beban di punggung. Ritmeku rusak ketika aku – lagi-lagi – menabrak Izzan yang jalannya luar biasa pelan, terseok-seok, terengah seperti habis sprint. Aku memainkan peran kakak dan mengambil daypack Izzan, menggendongnya tandem (tas Izzan, bukan Izzannya) dengan daypack-ku sendiri dan carrier.
            Kami tak sempat berlama-lama mencari penginapan murah, dan Ibu menyetujui tarif 450 ribu per malam dengan angkutan gratis ke bandara besok. Izzan yang kepayahan tampak bersyukur tak perlu berjalan lebih jauh lagi.
            Pelajaran nomor 1: Hotel yang murah tidak terletak tepat di pinggir jalan raya.
          Seandainya semua sesuai rencana, maka kami harusnya punya sepanjang sore untuk menjelajah sekitar. Sayang, begitu kami punya waktu hari sudah gelap, dan satu-satunya 'jalan-jalan' yang aku dan Izzan lakukan adalah pergi ke Borma terdekat untuk membeli terminal listrik, sabun cuci baju, dan peniti.
            Malam. Kami mengandalkan peralatan berkemah kami untuk memasak makan malam, lalu  beristirahat sebanyak mungkin. Besok kami akan kembali ke Ngurah Rai Airport, terbang ke Praya, Lombok.
            Besok, aku akan tiba di pulau yang belum pernah kutapaki.
            Entah kenapa aku baru sadar akan fakta itu.
            Excited, sekaligus agak ragu. Hari-hari berikut akan berat dan banyak ujian. Aku tak tahu seberapa berat atau seberapa banyak. Tidak tahu sama sekali, membuatku agak gelisah. Nevertheless, aku yakin akan satu hal... dan tak sabar rasanya menunggu hari esok tiba.

19 Juni 2014
            Setelah shalat Subuh, sulit untuk tidur kembali. Mengingat kami harus berangkat pagi, ada kekhawatiran agar tidak ketinggalan pesawat. Post-trauma... begitulah.
            Salad serta lemonade di buffet sarapan pagi itu lezat. Pukul setengah 9 pagi, kami hampir selesai makan. Sebaiknya kami bergegas.
Selamat tinggal, kamar hotel. Ibu dan Izzan.
Wadah sesajen di tempat makan, dan dimana-mana
            Beban yang ibu bawa terlalu berat; kami harus menitipkan beberapa pasang pakaian serta gas butana kalengan. Gas ini mungkin lolos dari Husein di Bandung, tapi mata Ngurah Rai pasti lebih jeli.
            Pukul 9, semua sudah siap, check out dilakukan, dan barang masuk ke bagasi mobil hotel. Kali ini kami tiba di Bandara Ngurah Rai bukan bagai backpacker, tapi turis berduit dengan mobil carteran meski hanya ada 3 orang. Hanya kelihatannya saja.
            Karena barang yang bisa masuk bagasi lebih sedikit karena pengurangan pembatasan berat, terjadi keributan saat memindahkan sebagian barang ke tas kabin (serta usaha menyembunyikannya). Syukurlah akhirnya beres juga, dan...

            10.13 WITA
            Bayar airport tax @NRA
           
            Aku tahu NRA adalah bandara internasional, tapi aku tak mengira akan sebagus dan semewah ini. Dari luar, bandara yang dinamakan oleh Suharto demikian pada 1 Agustus '68 ini terlihat artistik dengan kesan oriental yang kental. Dari dalam, nyaman dan luxurious. Ketika dalam perjalanan kemari tadi, kami memuji bandara ini dan mengkritik satu lagi yang di Bandung, membuat supir hotel yang mengantar kami tertawa bangga.
            Husein Sastranegara bukan tandingan I Gusti Ngurah Rai.
            Ruang tunggunya luas (padahal hanya untuk beberapa gate; dan gate yang ada sampai puluhan) dan ramai. Kami sibuk sendiri selama menunggu. Ibu. Izzan keluyuran. Aku memotret sampai bosan dan mengisi jurnal. Kutulis...

            10.28 WITA
            Ruang tunggu NRA. Agak berawan, cumulus putih rendah. Flight IW18
           
            … sudah.
           
Ruang tunggu Ngurah Rai Airport. Ibu dan Izzan.
           Setelah lama menunggu, akhirnya kami bisa menaiki pesawat... yang bahkan lebih kecil dari yang kunaiki sebelumnya. Aku ragu, tapi sekali lagi memasrahkan segalanya pada Allah, pilot, dan engineer pesawat.
Menuju Praya dengan Wings
            Penerbangan Bali – Praya, Lombok hanya memakan waktu 40 menit. Tak cukup lama untuk tidur, tak cukup singkat sehingga bosan. Tapi aku tak bosan. Ombak-ombak di laut bagai riak kecil dari atas sini,.
            Buih-buih putih yang terbentuk di sana-sini tampak misterius, karena muncul dengan fade in dan hilang dengan fade out (bukannya itu istilah untuk audio ya?). Dalam bayanganku, mirip mulut ikan lele atau pari raksasa yang mengambil udara lalu menyelam lagi.
            Aku iseng berandai-andai bepergian jauh, mengunjungi tempat-tempat terpencil dengan pesawat kecil dan mendarat di bandara in the middle of nowhere. Seperti di pedalaman Afrika, misalnya. Pesawat kapasitas kecil akan mendarat di bandara, terpantul-pantul di landasan tanah, dengan sebuah bangunan sebesar pos kamling sebagai kantornya. Nah, itu agak berlebihan.
            Aku tak mendapat banyak kesan in the middle of nowhere itu di Praya International Airport, dan harus kuakui, meski letaknya lebih terpencil, Praya ini mungkin selevel di atas dengan Husein Sastranegara. Hidup Lombok!
            Kami bertemu dengan anggota kelompok lain, dan bersama-sama pergi dengan mobil carteran. Perhentian berikutnya adalah Cemara Siu, tempat terdapatnya banyak rumah persinggahan. Perjalanan ini memakan waktu berjam-jam, karena kami berpindah dari Lombok Barat ke Lombok Timur, dan terutama karena harus menunggu lama pesanan makan siang. Kami tiba sekitar pukul 1 siang di bandara Praya, dan sampai di guest house Cemara Siu, Lombok Timur, ketika malam sudah mulai turun. Ini baru kloter kami. Kloter lain ada yang tiba larut malam, jauh setelah aku tertidur.
            Guest house yang kami tempati berupa dua rumah dengan beberapa kamar di tiap rumahnya. Sederhana, tapi lumayan bersih. Ada taman terbuka dan sebuah saung di dekatnya. Di arah Timur dan Barat terlihat puncak-puncak gunung; aku bertanya-tanya mana yang akan kami daki besok.

            Ketika berjalan memutari rumah persinggahan kami, kutemukan sebuah OOPArt ala NTB-CS. Sebuah lapangan tenis, jauh di ketinggian Tak terawat, kesepian, dan perlu disiangi dari rumput, tapi tetap saja lapangan tenis. Kami sempat bermain-main di sana hingga temperatur menurun tajam setelah matahari terbenam, memaksa kami pulang.
            Besok.
            Besok, segalanya akan dimulai.
            Benar-benar dimulai.
Lapangan tenis di Cemara Siu
Di lapangan tenis Bank NTB. Izzan, Damar, dan Kakaknya Damar.
Senja di Cemara Siu, 10/06/2014




Bersambung....

No comments:

Post a Comment