Silahkan baca post ini terlebih dahulu :)
14 Juni 2014
Baik. Aku sudah memutuskan.
Aku akan ikut Ibu dan Izzan... ikut
mendaki Gunung Rinjani nun jauh di pulau bernama Lombok sana
. Dan karena aku
bergabung di saat-saat terakhir, baik persiapan fisik dan persiapan logistik
dilakukan dengan SKS; Sistem asal Kelar Saja. Jangan ditiru, tidak baik untuk
keselamatan.
Dengan hanya beberapa hari tersisa,
aku memutuskan bahwa renang adalah cara paling efektif untuk mempersiapkan
tubuh, terutama pernapasan mengingat ini akan jadi kali pertama aku mendaki
diatas 3000 mdpl. 3700-an pula. Gunung terakhir yang kucapai puncaknya adalah
Gunung Burangrang; hanya 2068 mdpl tingginya. Jadi aku berenang setiap hari,
minimal 3 x 200 meter nonstop... saja.
Dengan daftar barang dibuat – aku
menghabiskan 2 lembar kertas binder, penuh - jauh lebih mudah untuk mengepak
barang. Di saat-saat terakhir, aku membeli (dibelikan, sebenarnya) barang-barang
tambahan seperti gaiter, yang pasti berguna sekali saat summit attack,
dan sarung tangan yang bagus. Sambil menimang harta baruku itu, suatu target
terpatri di hati : I'll do my best!
17 Juni 2014
Malam. Akhirnya packing selesai. Aku
akan berangkat besok.
Menggunakan kantong plastik dengan seal
untuk membungkus barang-barang adalah ide cemerlang. Selain lebih rapi dari
kantong keresek biasa, kantong dengan seal dapat mengompres udara keluar
sehingga memudahkan pengepakan. Berkatnya, boleh dibilang ini adalah packing
terbaik yang pernah kulakukan, menimbang semua barang yang ada dalam daftar
(kecuali botol air) masuk ke dalam Deuter Futura 45+10 L-ku... dengan sebagian
kecil masuk ke daypack.
Sebuah buku merah kecil, dan pensil
kayu 2B sepanjang kelingking. Dua benda yang kuberi perhatian khusus dalam
pembungkusannya. Dalam upaya untuk mengefisienkan beban, hanya dua benda itulah
alat tulis yang kubawa. Bukan hanya masalah batas beban yang bisa ditaruh di
bagasi pesawat nanti, tapi juga karena kami bertiga tidak menyewa porter, semua
beban harus dibawa sendiri selama pendakian 4 hari nanti.
Segalanya diringankan. Pakaian
ganti. Sepatu. Botol-botol lotion dan pembersih lensa kontak.
Kertas-kertas pembungkus makanan yang tak diperlukan dibuang, diganti plastik seal.
Kuangkat carrier-ku. Berat, tapi
juga tak berat. Maksudku, sekarang memang terasa ringan, tapi bagaimana rasanya
setelah memanggul seharian, mendaki gunung? Kugantung ia di timbangan, nyaris
10 kilogram beratnya. Penimbangan di bandara pertama : maksimal 15 kilo.
Penimbangan di bandara kedua: maksimal 10 kilo. Pasti lolos.
18 Juni 2014
Begini rencananya: karena aku
nimbrung di saat-saat terakhir, aku akan naik pesawat yang berbeda dengan Ibu
dan Izzan. Mereka dini hari ini akan berangkat lebih dahulu, subuh, dan aku
akan menyusul siangnya. Sendiri. But what really happened was the other way
round.
Ibu dan Izzan pasti harus berangkat
pagi sekali. Setidaknya, begitulah pikirku. Begitu aku bangun, mereka
seharusnya sudah lama pergi. Maka betapa terkejutnya aku ketika terbangun
sekitar pukul 8 dan mendengar suara Ibu sedang bercermin. Ya, aku hapal suara
ibu di depan cermin.
Aku pasti salah hitung tanggal;
mengira sekarang sudah tanggal 18...
Kalender handphone juga menunjukkan
tanggal 18. Mataku juga salah?
Tidak, aku tidak salah baca
kalender, tapi ibu yang salah membaca waktu yang tertera di tiket. Singkat
cerita, ketika mereka sampai di bandara, pesawatnya sudah melaju kencang di
ketinggian 10000 kaki, terbang menyongsong mentari terbit, menembus awan menuju
Pulau Dewata. Ibu dan Izzan ketinggalan pesawat.
Maka yang terjadi adalah aku
berangkat duluan sendiri, check in sendiri dimana berkat bantuan Yang Di
Atas berjalan lancar (saking gugupnya aku MENJATUHKAN TIKET PESAWAT sesaat
setelah menaruh bagasi. Beruntung aku sadar ada sesuatu yang terjatuh di dekat
kakiku. Nah lho), dan berhasil mencapai ruang tunggu tanpa tersesat.
Kuraih daypack-ku. Dari kantung
paling depan, kuraih sesuatu. Buku notes kecil berwarna merah. Jurnal
perjalananku kali ini.
12.01 WIB
Ruang tunggu Husein
Sastranegara Airport, Bandung. Boarding terlambat.
Boarding time yang
tertera pada tiket, yang resmi, adalah T+31 menit dari angka yang ditunjukkan
jarum jam di dinding. Aku mulai gelisah. Ruang tunggu amat penuh hingga tempat
duduk diperoleh dengan hukum tak tertulis “siapa cepat, dia dapat”. Sewaktu check
in, mbak penjaga berkata bahwa tak akan ada delay. Aku bertanya-tanya,
barangkali aku telah mengikuti jejak Ibu dan Izzan, ketinggalan pesawat, tapi
tak sadar sama sekali.
Betapa leganya ketika mengetahui
bahwa orang di sebelahku ternyata penumpang pesawat yang sama. Seorang
perempuan muda, baru bekerja, yang bertempat tinggal di Lombok Timur. Ia
menceritakan pekerjaannya, bandara internasional di Lombok yang baru, serta
pantai pasir Pink di Lotim. Kami mengomentari hujan di Jawa Barat, suhunya,
awan mendung yang tampak mengancam, dan kebersihan pasar. Aku bercerita tentang
gunung-gunung serta curug-curug di sekitar Bandung, serta rencanaku pergi ke
Lombok Barat.
Akhirnya, sekitar 15 menit kemudian,
pesawat kami siap untuk bertugas. Aku dan kenalan baruku terpisah karena tempat
duduk yang berjauhan. Menaiki pesawat LionAir ini, I couldn't help thinking
how small it was. Yakin pesawat ini bisa lepas landas dan bukannya melaju
terus dan menabrak apapun yang ada di ujung landas pacu?
Ah, pilot, engineer pesawat,
dan siapapun yang membangun landasan pasti lebih tahu.
Jadi aku naik, duduk di kursiku
dekat jendela, dan memasang kacamata hitam dengan tertib. Lalu sesuai dengan
pengumuman merdu yang keluar dari speaker di atas kepala kami, aku menyaksikan
peragaan alat keselamatan dengan sikap tenang terpuji. Perhatian penuh.
Promosi Lion Air |
Pesawat lepas landas, hatiku
melambung senang, perutku seperti ditinggal 1 kilometer di belakang.
15.25 WITA
Tiba. Ambil
luggage. Tak ada yang hilang. Perjalanan menurut pilot 1 jam 20 menit.
Bandara Internasional Ngurah Rai,
Bali. Akhirnya aku menginjakkan kaki di Bali, kali kedua setelah belasan tahun.
Berlama-lama berjalan saat menuju terminal, kunikmati paparan sinar matahari di
kulit, bau asin samar dari laut yang terletak dekat dengan bandara.
Barang-barang bagasi kembali pada
para pemiliknya melalui ban berjalan yang berliku-liku. Selagi menunggu carrier
Futura keluar, ku-SMS pihak-pihak yang berhak diberi tahu posisiku kini. Ibu
dan Izzan baru akan sampai beberapa jam lagi, dengan pesawat yang tiketnya
harus mereka beli lagi. Sebaiknya aku mencari tempat menunggu, yang kuputuskan
adalah...
16.52 WITA
Mushala NR Airport.
Akhirnya, yang kutunggu datang
menjelang maghrib. Aku telah melahap majalah gratisan, brosur-brosur, apapun
yang bisa dibaca dan mengandung tulisan selama menunggu. Tak peduli bahwa
tulisan itu dalam kana dan kanji, misalnya. Adzan maghrib berkumandang tepat
ketika kami melangkah keluar dari pintu kedatangan domestik Bandara Ngurah Rai,
tas dan carrier terangkat gagah bagai backpacker tulen.
Tiba di Bali. Ibu dan Izzan |
Kami akan bermalam di suatu tempat
dekat bandara, oleh karena itu kami berjalan menenteng beban menyusuri jalan.
“Punggung tegak, langkah mantap. Punggung tegak, langkah mantap,” adalah mantra
yang kuulang-ulang saat membiasakan diri membawa beban di punggung. Ritmeku
rusak ketika aku – lagi-lagi – menabrak Izzan yang jalannya luar biasa pelan,
terseok-seok, terengah seperti habis sprint. Aku memainkan peran kakak
dan mengambil daypack Izzan, menggendongnya tandem (tas Izzan, bukan Izzannya)
dengan daypack-ku sendiri dan carrier.
Kami tak sempat berlama-lama mencari
penginapan murah, dan Ibu menyetujui tarif 450 ribu per malam dengan angkutan
gratis ke bandara besok. Izzan yang kepayahan tampak bersyukur tak perlu
berjalan lebih jauh lagi.
Pelajaran nomor 1: Hotel yang murah tidak terletak tepat di pinggir jalan raya.
Seandainya semua sesuai rencana,
maka kami harusnya punya sepanjang sore untuk menjelajah sekitar. Sayang,
begitu kami punya waktu hari sudah gelap, dan satu-satunya 'jalan-jalan' yang
aku dan Izzan lakukan adalah pergi ke Borma terdekat untuk membeli terminal
listrik, sabun cuci baju, dan peniti.
Malam. Kami mengandalkan peralatan
berkemah kami untuk memasak makan malam, lalu
beristirahat sebanyak mungkin. Besok kami akan kembali ke Ngurah Rai
Airport, terbang ke Praya, Lombok.
Besok, aku akan tiba di pulau yang
belum pernah kutapaki.
Entah kenapa aku baru sadar akan
fakta itu.
Excited, sekaligus agak ragu.
Hari-hari berikut akan berat dan banyak ujian. Aku tak tahu seberapa berat atau
seberapa banyak. Tidak tahu sama sekali, membuatku agak gelisah. Nevertheless,
aku yakin akan satu hal... dan tak sabar rasanya menunggu hari esok tiba.
19 Juni 2014
Setelah shalat Subuh, sulit untuk
tidur kembali. Mengingat kami harus berangkat pagi, ada kekhawatiran agar tidak
ketinggalan pesawat. Post-trauma... begitulah.
Salad serta lemonade di buffet
sarapan pagi itu lezat. Pukul setengah 9 pagi, kami hampir selesai makan.
Sebaiknya kami bergegas.
Selamat tinggal, kamar hotel. Ibu dan Izzan. |
Wadah sesajen di tempat makan, dan dimana-mana |
Beban yang ibu bawa terlalu berat; kami harus menitipkan beberapa pasang pakaian serta gas butana kalengan. Gas ini mungkin lolos dari Husein di Bandung, tapi mata Ngurah Rai pasti lebih jeli.
Pukul 9, semua sudah siap, check out
dilakukan, dan barang masuk ke bagasi mobil hotel. Kali ini kami tiba di
Bandara Ngurah Rai bukan bagai backpacker, tapi turis berduit dengan mobil
carteran meski hanya ada 3 orang. Hanya kelihatannya saja.
Karena barang yang bisa masuk bagasi
lebih sedikit karena pengurangan pembatasan berat, terjadi keributan saat
memindahkan sebagian barang ke tas kabin (serta usaha menyembunyikannya).
Syukurlah akhirnya beres juga, dan...
10.13 WITA
Bayar airport tax
@NRA
Aku tahu NRA adalah bandara internasional, tapi aku tak mengira akan
sebagus dan semewah ini. Dari luar, bandara yang dinamakan oleh Suharto demikian pada 1 Agustus '68 ini terlihat artistik dengan kesan oriental
yang kental. Dari dalam, nyaman dan luxurious. Ketika dalam perjalanan kemari
tadi, kami memuji bandara ini dan mengkritik satu lagi yang di Bandung, membuat
supir hotel yang mengantar kami tertawa bangga.
Husein Sastranegara bukan tandingan
I Gusti Ngurah Rai.
Ruang tunggunya luas (padahal hanya
untuk beberapa gate; dan gate yang ada sampai puluhan) dan ramai. Kami sibuk
sendiri selama menunggu. Ibu. Izzan keluyuran. Aku memotret sampai bosan dan
mengisi jurnal. Kutulis...
10.28 WITA
Ruang tunggu NRA.
Agak berawan, cumulus putih rendah. Flight IW18
… sudah.
Ruang tunggu Ngurah Rai Airport. Ibu dan Izzan. |
Setelah lama menunggu, akhirnya kami
bisa menaiki pesawat... yang bahkan lebih kecil dari yang kunaiki sebelumnya.
Aku ragu, tapi sekali lagi memasrahkan segalanya pada Allah, pilot, dan engineer
pesawat.
Menuju Praya dengan Wings |
Penerbangan Bali – Praya, Lombok
hanya memakan waktu 40 menit. Tak cukup lama untuk tidur, tak cukup singkat
sehingga bosan. Tapi aku tak bosan. Ombak-ombak di laut bagai riak kecil dari
atas sini,.
Buih-buih putih yang terbentuk di
sana-sini tampak misterius, karena muncul dengan fade in dan hilang
dengan fade out (bukannya itu istilah untuk audio ya?). Dalam
bayanganku, mirip mulut ikan lele atau pari raksasa yang mengambil udara lalu
menyelam lagi.
Aku iseng berandai-andai bepergian
jauh, mengunjungi tempat-tempat terpencil dengan pesawat kecil dan mendarat di
bandara in the middle of nowhere. Seperti di pedalaman Afrika, misalnya.
Pesawat kapasitas kecil akan mendarat di bandara, terpantul-pantul di landasan
tanah, dengan sebuah bangunan sebesar pos kamling sebagai kantornya. Nah, itu
agak berlebihan.
Aku tak mendapat banyak kesan in
the middle of nowhere itu di Praya International Airport, dan harus kuakui,
meski letaknya lebih terpencil, Praya ini mungkin selevel di atas dengan Husein
Sastranegara. Hidup Lombok!
Kami bertemu dengan anggota kelompok
lain, dan bersama-sama pergi dengan mobil carteran. Perhentian berikutnya adalah Cemara Siu, tempat terdapatnya banyak rumah persinggahan. Perjalanan ini memakan waktu berjam-jam, karena kami berpindah dari Lombok Barat ke Lombok
Timur, dan terutama karena harus menunggu lama pesanan makan siang. Kami tiba
sekitar pukul 1 siang di bandara Praya, dan sampai di guest house Cemara
Siu, Lombok Timur, ketika malam sudah mulai turun. Ini baru kloter kami. Kloter
lain ada yang tiba larut malam, jauh setelah aku tertidur.
Guest house yang kami tempati
berupa dua rumah dengan beberapa kamar di tiap rumahnya. Sederhana, tapi
lumayan bersih. Ada taman terbuka dan sebuah saung di dekatnya. Di arah Timur
dan Barat terlihat puncak-puncak gunung; aku bertanya-tanya mana yang akan kami
daki besok.
Ketika berjalan memutari rumah persinggahan kami, kutemukan sebuah OOPArt ala NTB-CS. Sebuah lapangan tenis, jauh di ketinggian Tak terawat,
kesepian, dan perlu disiangi dari rumput, tapi tetap saja lapangan tenis. Kami
sempat bermain-main di sana hingga temperatur menurun tajam setelah matahari
terbenam, memaksa kami pulang.
Besok.
Besok, segalanya akan dimulai.
Benar-benar dimulai.
Lapangan tenis di Cemara Siu |
Di lapangan tenis Bank NTB. Izzan, Damar, dan Kakaknya Damar. |
Senja di Cemara Siu, 10/06/2014 |
Bersambung....
No comments:
Post a Comment