20 Juni 2014
Sekitar
pukul 5 pagi, diiringi dering alarm dari ponsel yang memang kuletakkan di dekat
telinga, aku teruduk bangun. Mati-matian melawan godaan untuk kembali meringkuk
dalam sleeping bag, aku bangkit menyongsong hawa dingin subuh Cemara
Siu. Air wudhu yang kuambil saking dinginnya bagai sengatan listrik saat
menyentuh kulit; mata yang awalnya hanya beberapa watt langsung siaga.
Lombok
yang kukira temeraturnya panas – dan memang benar, di daerah pantainya –
ternyata bisa sedingin ini. Salah satu bentuk ketololan yang didasari pada
pemikiran dangkal serta pengetahuan yang terbatas. Memangnya berapa ketinggian
tempat ini, hah? 10, 100, 250 mdpl? Wush! Kita sudah 1 kilometer vertikal di
atas laut dan pantai-pantai indah pulau yang bentuknya kayak kecebong ini.
Gunung Rinjani sendiri disebut sebagai tempat bersemayamnya Dewi Anjani
, seorang putri yang menjadi Ratu Jin. Semua pengikutnya adalah jin yang baik. Konon, ia adalah seorang putri yang dilarang ayahnya menikah dengan pemuda pujaannya, lalu menghilang ke sebuah mata air bernama Mandala. Ia akhirnya menjadi penguasa alam gaib, dan pada saat-saat tertentu kita dapat melihat istananya secara kasat mata.
Usai
shalat, aku langsung mulai berkemas sedangkan sisa penghuni rumah singgah masih
terbuai mimpi. Bukan karena rajin. Setengah alasannya agar tubuh tak beku
karena diam, dan alasan terbesar adalah cepat-cepat mengenyahkan sleeping
bag demi menguatkan diri dari hangat pelukannya itu.
Belum
semuanya bisa dikemas ke dalam carrier kembali. Kompor masih akan
dipakai untuk membuat minuman hangat dan mungkin makanan. Begitu pula peralatan
makan dan masak. Sayang meskipun barang dalam jumlah luar biasa banyak
(untukku) bisa masuk ke dalam carrier 45 L, penempatannya masih
berantakan. Asal masuk. Alhasil untuk mengambil satu barang saja, tak jarang
aku harus membongkar setengah isi tas. Benar kata Ibu, kata Norman Edwin, kata
inspektur SISPAKALA, bahwa packing adalah seni tersendiri.
Ibu,
yang membawa bahan makanan bagi kami bertiga, lebih baik packingnya. Bahan
makanan yang meliputi bihun, beras, spaghetti, bubur, dan lebih banyak bubur
untuk beberapa hari tidaklah sedikit. Belum lagi minuman-minuman sachet. Beban
yang ibu bawa menembus angka 20 kilogram. Berkat tas-tas kecil ini sebagai
pengganti kantong kresek yang umum digunakan, bukan hanya lebih mudah untuk
dikemas, tapi juga lebih rapi saat ditaruh di dalam tenda.
Akhirnya...
5.45 WITA
Selesai packing. Siap berangkat.
Katanya,
kalau kita berangkat pukul 6 pagi dari Cemara Siu, kita akan sampai di Plawangan
Sembalun sekitar pukul 5 sore. Semakin lama molor, semakin lama pula sampainya
mengingat jalan yang akan jadi gelap. Maka sejenak sebelum mentari terbit
(pukul 6 lewat, mengingat kami di tempat tinggi) tas-tas carrier dan
penggendongnya diangkut dengan truk pick up ke starting point dalam dua
kloter. Di perjalanan, Gunung Rinjani dan puncaknya yang tandus sempat terlihat
di kejauhan.
Starting
point adalah suatu jalan kampung yang langsung menyambung ke padang rumput.
Tidak ada gerbang atau apa, hanya sebuah jalan tanah di sebelah warung. Di
jalan berceceran kotoran sapi Lombok yang, anehnya, tidak begitu bau.
Karena
saya tidak memperhatikan dan tidak mencari tahu, saya tak tahu pasti bagaimana
mencapai starting point ini. Silahkan tanya pada warga setempat.
Katanya,
di sini sapi-sapi dibiarkan berkeliaran bebas di padang. Lalu ketika sudah
waktunya pulang, tinggal dipanggil dan mereka akan datang sendiri. Hebat
sekali. Padang rumput yang luas, makanan yang melimpah. Tak heran sapi Lombok sehat-sehat
dan kekar-kekar. Memang benar kata pepatah, beda padang beda belalangnya
sapinya.
Selama
melewati sabana nanti, kami tidak berjumpa dengan satu sapi pun. Mungkin mereka
merumput di bagian lain agar tak mengganggu pendakian. Tapi aku berjumpa rombongan-rombongan
sapi yang sedang diangon. Kloneng-kloneng bunyi loncengnya, drak-druk-drak-druk
bunyi langkahnya.
Berangkat dari starting point : 6.40 WITA
Gunung Rinjani adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang luasnya sekitar 41.330 hektar. Kalau jadi diperluas hingga 70 ribu ha lebih, taman nasional ini akan lebih luas dari TN Bromo Tengger Semeru.
Jalan
yang ditempuh amat landai pada awalnya. Landai hingga spot yang ditunjukkan
pada foto berikut, dimana Sang Tinggi menjulang dengan gagahnya.
Tante Anna, Ibu, Daniel, dan Rinjani |
Kemudian
kami melewati padang rumput (sabana) yang landai, beberapa bukit kecil, mendaki sedikit
saat melewati suatu hutan yang lebih mirip sekumpulan pohon di padang rumput,
lalu beristirahat pada...
8.32 WITA
Sampai di tempat sarapan
Keuntungan
hadirnya porter antara lain adalah: a) barang yang diangkut sendiri bisa lebih
sedikit atau bahkan tak ada, b) bekal ada yang memanajemen pembagiannya, c) air
yang berat tak perlu dibawa atau mencari sumber sendiri, kalau perlu tinggal
minta, dan d) makanan ada yang memasakkan.
Peraduan Dewi Rinjani dari tempat sarapan |
Kendalanya
bagi ibu, aku, dan adikku Izzan hanya satu : dompet. Dan isinya.
Kami
tidak menyewa porter sendiri. Di antara kalangan anak-anak, hanya Izzan yang
membawa barangnya sendiri. Bahkan hanya dia yang membawa carrier. Kami setujui
itu; tak menyewa porter. Tarifnya ratusan ribu per hari. Aku pun ingin mencoba
batas kemampuanku.
Singkatnya,
kami sarapan sambil berkenalan dengan porter-porter yang jumlahnya, untuk tim
kami, ada 20 orang itu. Ada tiga serangkai yang mudah diingat: Yon, Yan, dan
Han. Bang Yon yang ramah dan lucu kerap merangkap jadi pengasuh anak-anak
selama perjalanan, dan Bang Hanan liat serta besar-besar ototnya. Ade Rai saja
mungkin kalah. Bukan cuma mengangkat beban, Bang Hanan berlari membawa
beban itu naik-turun gunung.
Di
depan mata, berdiri megah Gunung Rinjani, bersinggasana di atas karpet hijau
kekuningan sabana yang membentang. Lautan rumput berkilo-kilo meter untuk
diarungi.
9.03 WITA
Selesai sarapan
Semangat
kembali terisi seiring terisinya perut. Perjalanan dilanjutkan, kembali
mengarungi sabana yang kelihatan berombak-ombak, tapi masih landai.
Lalu,
secara perlahan, jalan mulai menanjak. Pertama-tama tak begitu terasa, paling
ada satu atau dua tanjakan kecil di sana dan di sini. Aku hampir terlena,
sampai seorang porter memberi tahu bahwa tantangan sebenarnya adalah setelah
Pos 3 nanti, jadi siap-siap saja.
Tadi
kubilang bahwa paling yang ada hanyalah tanjakan-tanjakan kecil, yang perlahan
mulai menanjak. Tapi secara pelan tapi pasti pula, napas mulai terasa berat.
Bahu mulai terasa terbebani. Kakiku selamat dari rasa berat karena sepatu yang
kukenakan amatlah ringan. Lebih ringan dari sandal jepit. Serius.
Sudah
mulai kelelahan? Ah, mungkin karena belum terbiasa. Apalagi karena kita mulai
dari ketinggian sektiar 1100 mdpl. Mungkin karena matahari mulai merambat naik,
menjadikan sabana yang tadi sejuk oleh kabut pagi terasa membara.
@Sabana, Sembalun, Rinjani. Kuning dan panas. Begitu SMS yang kukirimkan mumpung sinyal masih ada di sini.
Sabana. Kuning dan panas. |
Mulai
ada godaan untuk duduk beristirahat dan minum setiap selesai mendaki sebuah
tanjakan yang, dari kejauhan, kelihatannya dekat saja, tapi semakin didekati
semakin jauh. Tentu temptation semacam itu tak perlu selalu dituruti,
diabaikan kalau bisa. Ketika hal-hal semacam ini mulai menyerang, ketika
terompet perang dengan diri sendiri telah berkumandang, kugunakan kembali
teknik yang kunamai teknik harkos. Teknik yang ampuh bagi mereka yang
pintar menipu diri sendiri (lho?).
Caranya
begini. Setiap kali berjalan, tetapkan suatu titik dan kuatkan niat untuk
mencapai titik itu tanpa istirahat. Janjikan pada dirimu sendiri hal-hal
seperti, “Aku akan istirahat 10 hitungan di situ”, “Aku boleh istirahat dan
duduk sampai napasku kembali di batu itu”, “Aku boleh minum beberapa teguk di
dekat pohon itu.” Lalu setelah mencapai target, lanjutkan langkah kalau memang
masih mampu... walaupun rasanya tidak, lalu tetapkan titik lain dan ulangi cara
di atas.
Ya,
rasa sakitnya tuh disini (*nunjuk dada)
karena di-harkos-kan berkali-kali (walau oleh diri sendiri). Meskipun
begitu, tujuan-tujuan jelas untuk jangka pendek menjaga fokus pikiran kita,
sehingga pikiran tidak mengembara kemana-mana dan rasa optimis tetap ada.
Mungkin
ini yang kita perlukan dalam hidup. Untuk mencapai tujuan yang besar,
tujuan-tujuan kecil namun pasti diperlukan untuk meniti jalan ke sana.
Porter dengan bakul melintas. |
Dengan
cara demikian, aku berhasil mencapai Pos 2 Jalur Sembalun dengan napas masih
cukup teratur dan HP masih lebih dari ¾. Yang kubutuhkan hanyalah istirahat
sejenak mengingat kepala terasa diketok magic karena panas.
10.20 WITA
Pos 2 @1500 mdpl
"Pos 2 Tengengean" |
Starting point → Pos 2 : + 3 jam tanpa berhenti
Saat
kubilang padang rumput, yang kumaksud memang hamparan rumput kuning yang bak
tanpa ujung. Sinar matahari memantul, membuat kacamata hitam adalah benda wajib
untuk dibawa.
Tengah
hari menjelang. Kulit terasa kering kriuk-kriuk, dan bisa kulihat bahwa
hidungku sudah gosong terbakar matahari. Tak peduli betapa rapat topi sabana-ku
atau betapa banyak sun screen yang dipakai. Not that I cared, anyway.
Yang membuat ngeri
adalah fakta bahwa mood mulai merosot. This heat really was taxing.
Emosi meluncur keluar kendali, dan dengan sisi diriku yang lain, yang masih
rasional, mencoba untuk menggenggamnya kembali. Suatu keadaan dimana pribadi
seakan terpecah, seperti sadar sewaktu marah lepas kendali tapi tak berdaya
melawan. Seperti.. setengah ditaklukan
oleh perasaan negatif. Adakah yang
pernah merasa serupa?
Get a grip, you!
Snap out of it!
Maka fokus
kualihkan pada sabana yang bagai ombak lautan pasifik. Bergulung-gulung, almighty, dan masif dan terstruktur dan sistematis. Terlalu mengagumkan untuk dilewatkan.
Awan rendah yang seringkali turun. Diambil dari Pos 2 (kalau tidak salah) |
Di Pos 2. Ibu, serta tumpukan sampah yang berserakan |
Sungai lahar |
Sementara itu, aku
mulai frustasi karena terus dikalahkan oleh ibu yang bebannya dua kali lebih
berat daripadaku, tapi jalan dua kali lebih cepat. Pada suatu titik aku
berhasil menyusulnya, karena ibu sengaja melambat. Titik tersebut adalah sungai
aliran lahar dangkal pada salah satu sisi bukit. Aku bukan geolog, tapi laharnya masih terlihat baru. Apa ini sungai yang mengalirkan hasil erupsi terakhir, tahun 2010 itu? Entahlah.
Porter yang
menyusul menyemangati, berkata bahwa Pos 3 tak lagi jauh dari sini, kurang dari
1 jam berjalan. Aku mengangguk dan akhirnya bisa balas tersenyum. Bukan karena
bisa istirahat sebentar lagi.. well, ya, sebagian karena itu, sebagian lagi
karena sungai lahar barusan mengingatkanku bahwa banyak yang masih bisa
dinikmati selama perjalanan ini.
Angin mulai
bertiup, menyejukkan. Gulungan-gulungan awan tebal yang semula berarak menjauh,
seakan setuju dan mendekat untuk meneduhi kami. Sedikit perjuangan tambahan dan
kami tiba di pos makan siang, beberapa ratus meter di bawah Pos 3.
Di tempat makan siang |
Begitu sampai,
ransel carrier kubiarkan jatuh disusul tubuhku. Tak pernah ada ambruk
yang lebih nikmat dari ambruk yang ini, berteduh dengan kaki lebih tinggi dari
kepala untuk mengembalikan darah, membiarkan keringat dan angin sepoi mendinginkan
tubuh.
12.31 WITA
Pos 3. Masak
makan siang
Mengantuk.
Mengantuk sekali. Terlalu mengantuk hingga rasanya tak benar. Aku akan tidur, 2
jam isitrahat itu kalau bisa, seandainya ibu tak memaksaku makan. Setelah
mencoba dan merasakan betapa sulitnya, aku sadar...
Kepala yang pusing
dan berdenyut. Kantuk. Sulit makan. Emosi labil.
Di ketinggian kurang
dari 2000 mdpl, aku sudah kena penyakit ketinggian.
Haha. Aku bakal
tertawa seandainya aku bisa.
Ibuproven saved me. I don't know what kind of drug that was exactly, but it
worked like magic. Kami masing-masing dibekali ibu sekotak kecil obat-obatan
dan sekeresek madu+tolak angin. Selain Ibuproven tadi, ada Hemaviton,
Paracetamol, dan Habatussauda.
Makan dan
tidur-tidur ayam selama beberapa jam istirahat itu, manjur mengembalikan
tenaga. Menu makanan yang diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi nutrisi yang
diperlukan, terbukti pas bagi tubuh yang membutuhkannya. Kami menggelar terpal
dan shalat, beberapa hal lain yang melibatkan pendirian dinding dan tissue, dan
kami berangkat lagi.
Pos 2 → Pos 3
: + 2 jam perjalanan tanpa berhenti
Starting
point → Pos 3: + 4 jam perjalanan tanpa berhenti
Kami kembali
melangkah, melangkah, dan melangkah. Pos 3 kami lewati. Matahari mulai condong
ke barat, sore sudah menghampiri. Langkah demi langkah. Bukit demi bukit.
Begitu banyaknya sehingga tak ada lagi yang menghitung, sudah berapa bukit yang
dilewati.
Dari apa yang kami
dengar dari porter, etape terakhir menuju Plawangan Sembalun adalah yang paling
berat, dengan julukan yang seram pula: Bukit Penyesalan. Atau Bukit
Penderitaan. Aku lupa mana yang kami lewati, sebab kesaksian para porter
berbeda, tapi yang jelas salah satu dari itu. Dan meski namanya 'bukit',
kenyataannya ada lebih dari satu bukit. Jumlahnya pun berbeda-beda menurut
setiap orang.
Tepat setelah melewati
salah satu bukit yang cukup melelahkan, aku bertanya pada porter yang menyusul
di belakangku.
“Mas, ini Bukit
Penyesalan yang keberapa ya?”
Jawaban yang
kudapat, “Wah, mulai saja belum, Mbak! Tuh, di depan..”
Gubrak.
Brace yourself, Nan.
Aku memutar badan
kembali ke depan, tapi mataku terpaku pada pemandangan di sisiku. Sebuah puncak
menyembul dari kumpulan awan, matahari menyinarinya bagai lampu spotlight.
Puncak Rinjani.
3726 meter di atas
permukaan laut. Masih 1,5 kilo vertikal di atas titik tempatku berdiri. Jadi
atau tidaknya aku ke sana besok pagi, tergantung apakah aku masih utuh
menyelesaikan etape terakhir hari ini.
Kutarik napas
dalam-dalam. Udara yang kering tapi bersih memenuhi rongga paru-paru.
Masih. Selama masih
bisa melangkah, selama masih bernapas, aku masih mampu.
Aku kini siap
menghadapi jawaban apapun dari porter tentang “Bukit Penyesalan itu ada berapa
bukit?”
“Cuma 3 Mbak, tapi
yang kecil-kecil nggak dihitung.”
“Satu, dua... 5
atau 6 lah, kira-kira.” Itu jawaban yang lain.
“Dua belas!”
“Here, Nan.
Everything is relative...” salah seorang sahabatku pernah berkata, dan
mungkin ada benarnya. Entah itu langit paling cerah, bintang yang terlihat
paling terang, atau bukit yang merupakan penyiksaan.
Bukit Penyesalan
telah dimulai.
Pohon-pohon
merimbun, vegetasinya bertambah dengan kelompok Gymnospermae, selain
rerumputan. Cahaya dari langit semakin
tertutupi, membuat keadaan lebih redup dari sebenarnya.
Bukit-bukit yang
awalnya dalam medan pandang, kini tersembunyi karena kontur gunung yang semakin
terjal. Jalan setapak seakan naik vertikal saja rasanya, dan semua yang
terlihat hanyalah puncak dari bukit yang ini. Hanya satu puncak yang
terlihat, puncak ke mana kita sedang menuju. Tapi apakah puncak itu
satu-satunya yang ada? Tidak! Di balik bukit, masih ada bukit. Dan dibalik
bukit yang berada di balik bukit tersebut, masih ada bukit lagi.
Sejak bersua lagi
dengan Puncak Rinjani tadi, sebelum Bukit Penyesalan dimulai, kecepatan jalanku
telah menurun dan kini aku mendaki susul-menyusul dengan sebuah rombongan dari
Malaysia. Tim ini beranggotakan kelompok bapak-bapak yang sudah kepala 4 dan
IMT-nya lebih dari 25 alias gendut Tentu semua ini perkiraanku sendiri; tak
mungkin aku bertanya. Meskipun begitu
mereka tampak tangguh dengan carrier-carrier besar yang mereka bawa sendiri.
Susul menyusul
disertai sapaan akhirnya berujung perbincangan. Di tengah bukit-bukit serta
napas yang mulai berat, kami berbicara tentang budaya dalam dua bahasa yang
serupa tapi tak sama. Aku berusaha menggunakan kata-kata Bahasa Indonesia yang
umum, tapi perbedaan kosa kata tak terelakkan dan kadang perbincangan berhenti
untuk menanyakan arti sebuah kata.
16.28 WITA
Tanjakan
penyesalan 5/7. Berhenti u/ makan cokelat.
Daniel cs.,
Tante Chitra, Tante Ratih dan Ibu sudah di depan.
Daniel cs. berarti
adikku Izzan, beserta temannya Damar dan Daniel sendiri. Mereka ada di depanku.
Tante-tante dan Ibu
yang umurnya 40-an, yang tak lama lagi akan tergolong manula (seperti kata
Izzan), tak berhasil kususul. Mereka ada di depanku.
Kesimpulan: aku
tertinggal oleh sekelompok bocah dan sekelompok tante-tante. Rasanya agak
menyakitkan. Aku mempercepat langkah.
Beberapa bukit
kemudian, darah tertumpah. Damar, salah satu dari 3 bocah yang kusebutkan tadi,
mimisan. Mereka tak terlalu jauh sehingga sebentar kemudian aku menyusul
mereka, menemaninya sebentar, dan
mendaki lagi ketika ayahnya datang. Aku tak khawatir meninggalkan Damar dan
adikku Izzan pun menemaninya. Mereka sudah jauh lebih kuat mental sejauh ini,
mereka tak akan menyerah sampai di sini.
Siapa bilang darah
muda darahnya para remaja? Rhoma Irama, ya? Jelas beliau belum pernah mendaki
gunung, berhari-hari, ditemani oleh bocah-bocah yang mendaki sambil lari-lari
karena mereka sedang bermain “jadi mobil rally”, sementara pendaki lain
termasuk yang remaja suaranya sudah kayak bemo mogok. Tidak, darah muda yang
empunya adalah bocah-bocah.
Buktinya adalah foto ini, yang diambil ketika bocah-bocah sedang asyik dengan dunia mereka:
Bukan gaya atau apa. Tapi tak sanggup duduk untuk mengambil foto. Tepar di Pos 2. |
Beberapa bukit
kemudian lagi, aku berhenti untuk memperahtikan langit. Matahari sudah
menyentuh horizon; tak lama lagi Sang Surya akan kembali ke peraduannya. Apa
yang akan menjadi terhadap kita nanti?
Kuhadang seseorang,
porter siapapun yang sedang melintas.
“Mas.. kira-kira
bisa sampai sebelum gelap, tidak?” tanyaku.
Mas dengan kaki
bersendal jepit, kaus oblong dan bakul berisi barang bawaan menatapku, his
eyes full of concern.
“Nggak bawa
senter?”
Tidak, begitu jawaban yang tidak diucapkannya. Seandainya aku jalan cepat
di setapak ini, seandainya bisa, tentu aku masih tiba setelah gelap. Kuterima
fakta ini dengan lapang dada.
Menjelaskan bahwa aku punya senter lalu mengeluarkannya dari carrier,
perjalanan diteruskan. Porter yang barusan melaju melewatiku, hilang dari
pandangan semenit kemudian.
Aku terlambat
beberapa jam dari jadwal. Setengah dari tim mungkin sudah sampai, setengah lagi
tertinggal di belakang. Matahari sudah setengahnya hilang dibalik punggungan.
Bukit Penyesalan masih membentang.
Langkahku
mempercepat, pelan tapi pasti. Aku benar-benar ingin tiba di camp
Plawangan Sembalun sebelum gelap. Langit semakin gelap dalam tempo yang
singkat, membuat orang merasa kehabisan waktu. Aku memacu langkah. Tim Malaysia
yang tadi selaras denganku tertinggal semakin jauh di belakang, dan aku
melambaikan perpisahan. Wah, inilah yang dinamakan the power of kepepet.
The greatest power
ever known for humans to posses.
Ketinggian 2600
mdpl. 12 jam sudah kuhabiskan dalam pendakian hari ini. Matahari sudah tak
tampak, namun angit masih menyisakan pendar ungu tua serta sedikit semburat
oranye di ufuk barat sana. Angin gunung mulai bertiup, dinginnya tak
terbayangkan hingga dialami sendiri. Sudah dingin, ditambah lagi baju tipis
yang basah kuyup kena keringat.
Akhirnya..
18.48 WITA
Sampai di
Plawangan
Segara Anak dari Plawangan Sembalun |
Dalam keadaan
demikian kujejakkan kaki di Plawangan Sembalun. Aku disambut sapaan pemberi
semangat dari porter yang sudah (lama sekali) tiba serta pemandangan Danau
Segara Anak dalam keremangan. Seorang anggota timku, sama-sama generasi 2 alias
remaja, sedang menunggu di sana. Cheese! Selfie pertama yang kulakukan
adalah bersama Danau Segara Anak. Kurang keren apa?
Pos 3 →
Plawangan Sembalun : 2,5 jam tanpa berhenti.
Starting
point → Plawangan Sembalun : 6.5 - 7 jam tanpa berhenti.
… yet, I needed 13
hours to got there. I considered myself a strong one, carrying 12 kilograms
to the height I had never been at before, without proper preparations but guts,
still.... Yah, memang agak sulit untuk mendaki seharian tanpa berhenti
'kan? Bahkan para porter juga butuh istirahat, walau waktu 7 jam sebenarnya
cukup bagi mereka...
Softlensku sudah
seperti hendak meloncat lepas. Tapi tidak, tidak bisa sekarang. Aku masih harus
menemukan tenda-tenda tim KMPA-G di antara lautan tenda di Plawangan ini. Ada
puluhan tenda tersebar di punggungan sempit itu, belum menghitung kakus
darurat. Agak seram juga kalau diingat sekarang. Di satu sisi punggungan adalah
kaldera, dengan Danau Segara Anakan di tengahnya. 600 meter vertikal ke bawah
atau sekitar 4 jam perjalanan kaki dari sini. Di sisi lain ada lembah curam
yang mustahil didaki, kecuali dipanjat.
Dan di punggungan
adalah tenda dan tali pasak yang silang menyilang bagai jaring laba-laba, serta
kegelapan karena minimnya cahaya kecuali dari senter atau api.
Melihat tenda-tenda
sudah tampak amat melegakan sekaligus menjengkelkan. Ketika menyadari bahwa
masih harus mendaki 3 bukit lagi sebelum beristirahat, setelah 13 jam mendaki,
padahal pendaki-pendaki lain sudah nyaman dalam sleeping bag atau dekat api
unggun... yah, bayangkan saja betapa frustasinya.
Singkat cerita,
ketika sampai di tenda, baru kusadari betapa lelahnya badan ini. The power
of kepepet telah habis dan efek samping mulai terasa. Aku terduduk di
sebelah carrier, tak bisa bergerak untuk sementara entah mengapa.
Dingin. Dingin.
Tidak seperti es yang menyentuh kulit, ini dingin yang diam-diam menghanyutkan.
Tidak menyengat tapi melumpuhkan. Saat ini aku tak bisa bergerak, tak bisa
menggigil walau kedinginan. Entah karena lelah atau gejala awal hipotermia,
entahlah. Aku seperti tak berkepala,.
Ujung jari mulai
memutih. Sekarang rasanya aku tak berjari. Digigit pun tak terasa.
Mengganti baju
basah dengan yang kering.
Aku ingat aku tak
di dalam tenda waktu itu. Aku tak tahu tendaku yang mana. Lalu bagaimana
caranya aku ganti baju? Masih merupakan misteri hingga sekarang karena aku
benar-benar tak ingat. Masakan di luar?
Memakan cokelat
untuk memulihkan tenaga.
Aku mengungsi ke
tenda rekan se-tim dan makan. Aku tak tahu cokelat siapa yang kumakan. Atau apa
saja yang kumakan.
Hanya dua hal itu
yang sempat kupikirkan dan kulaksanakan sebelum akhirnya jatuh tertidur. Tidak
membuat jurnal, tidak mengambil foto, tidak mengecek rekan yang lain, bahkan
tidak mau repot membereskan barang yang masih diluar ketika mengambil baju
ganti tadi. Baju yang basah kulemparkan begitu saja ke atas semak supaya
kering. Hanya tidur-tidur ayam, numpang di tenda orang lain. Aku memikirkan Ibu
dan Izzan.
Izzan jalan lebih
lambat karena terus menemani Damar yang mimisan tadi. Ibu pasti menemani mereka
juga. Malam semakin larut dan aku semakin khawatir. Sangat khawatir. Betapa
sulitnya melalui Bukit Penyesalan hanya
dengan cahaya senter!
Pos tambahan, di sabana. Kenapa fotonya ditaruh di sini? Terserah dong. |
Sekitar pukul 10
malam, mereka tiba. Aku menemukan tendaku dan kami bertiga menyiapkan tempat
tidur di tenda kapasitas 2 orang kami.
Ibu menghangatkan
tenda dengan memasak di dalamnya. Trik baru yang didapatnya, dan terus
dilakukannya karena Ibu tak tahan dingin. Panas dari kompor gas portabel yang
kami bawa terkurung di dalam tenda sehingga bukan saja hangat, tapi panas
jadinya.
Aku memang kena
penyakit ketinggian. Itu vonis Ibu. Berbagai pil kutelan (kurasa itu Ibuproven
lagi, tapi pikiranku sudah timbul-tenggelam antara sadar dan tidak), dan
makanan serta minuman panas kutelan paksa. Sekitar pukul 11 malam, kami pergi
tidur.
11. 04 WITA
Siap-siap
tidur.
Summit attack akan dilakukan besok. BESOK! Wah, besok tinggal sejam lagi.
Hanya ada 3 jam
untuk beristirahat, karena kami berangkat pukul 2 dini hari. Berangkat mendaki
tumpukan pasir dan abu vulkanik ini, yang, ngomong-ngomong, ada yang bilang
lebih sulit dari 300 meter terakhir Mahameru. Wahai! Bukan hanya 300 meter yang
dilalui, tapi 1 kilometer vertikal ke atas sana.
Dengan kondisi
babak-belur begini, yang adalah alasan mengapa sistem SKS amat tidak
disarankan, aku tak yakin apakah bisa aku ikut muncak besok. But we've
come this far...
Berbaring lalu
berdoa, aku berharap gaiter kuning dan hitam itu tidak dibawa sia-sia.,.
No comments:
Post a Comment