Saturday, September 6, 2014

Rinjani Trip Day 1: Di balik bukit masih ada bukit






20 Juni 2014
Sekitar pukul 5 pagi, diiringi dering alarm dari ponsel yang memang kuletakkan di dekat telinga, aku teruduk bangun. Mati-matian melawan godaan untuk kembali meringkuk dalam sleeping bag, aku bangkit menyongsong hawa dingin subuh Cemara Siu. Air wudhu yang kuambil saking dinginnya bagai sengatan listrik saat menyentuh kulit; mata yang awalnya hanya beberapa watt langsung siaga.

Lombok yang kukira temeraturnya panas – dan memang benar, di daerah pantainya – ternyata bisa sedingin ini. Salah satu bentuk ketololan yang didasari pada pemikiran dangkal serta pengetahuan yang terbatas. Memangnya berapa ketinggian tempat ini, hah? 10, 100, 250 mdpl? Wush! Kita sudah 1 kilometer vertikal di atas laut dan pantai-pantai indah pulau yang bentuknya kayak kecebong ini.

Gunung Rinjani sendiri disebut sebagai tempat bersemayamnya Dewi Anjani
, seorang putri yang menjadi Ratu Jin. Semua pengikutnya adalah jin yang baik. Konon, ia adalah seorang putri  yang dilarang ayahnya menikah dengan pemuda pujaannya, lalu menghilang ke sebuah mata air bernama Mandala. Ia akhirnya menjadi penguasa alam gaib, dan pada saat-saat tertentu kita dapat melihat istananya secara kasat mata.


Usai shalat, aku langsung mulai berkemas sedangkan sisa penghuni rumah singgah masih terbuai mimpi. Bukan karena rajin. Setengah alasannya agar tubuh tak beku karena diam, dan alasan terbesar adalah cepat-cepat mengenyahkan sleeping bag demi menguatkan diri dari hangat pelukannya itu.

Belum semuanya bisa dikemas ke dalam carrier kembali. Kompor masih akan dipakai untuk membuat minuman hangat dan mungkin makanan. Begitu pula peralatan makan dan masak. Sayang meskipun barang dalam jumlah luar biasa banyak (untukku) bisa masuk ke dalam carrier 45 L, penempatannya masih berantakan. Asal masuk. Alhasil untuk mengambil satu barang saja, tak jarang aku harus membongkar setengah isi tas. Benar kata Ibu, kata Norman Edwin, kata inspektur SISPAKALA, bahwa packing adalah seni tersendiri.

Ibu, yang membawa bahan makanan bagi kami bertiga, lebih baik packingnya. Bahan makanan yang meliputi bihun, beras, spaghetti, bubur, dan lebih banyak bubur untuk beberapa hari tidaklah sedikit. Belum lagi minuman-minuman sachet. Beban yang ibu bawa menembus angka 20 kilogram. Berkat tas-tas kecil ini sebagai pengganti kantong kresek yang umum digunakan, bukan hanya lebih mudah untuk dikemas, tapi juga lebih rapi saat ditaruh di dalam tenda.

Akhirnya...
5.45 WITA
Selesai packing. Siap berangkat.

Katanya, kalau kita berangkat pukul 6 pagi dari Cemara Siu, kita akan sampai di Plawangan Sembalun sekitar pukul 5 sore. Semakin lama molor, semakin lama pula sampainya mengingat jalan yang akan jadi gelap. Maka sejenak sebelum mentari terbit (pukul 6 lewat, mengingat kami di tempat tinggi) tas-tas carrier dan penggendongnya diangkut dengan truk pick up ke starting point dalam dua kloter. Di perjalanan, Gunung Rinjani dan puncaknya yang tandus sempat terlihat di kejauhan.

Starting point adalah suatu jalan kampung yang langsung menyambung ke padang rumput. Tidak ada gerbang atau apa, hanya sebuah jalan tanah di sebelah warung. Di jalan berceceran kotoran sapi Lombok yang, anehnya, tidak begitu bau.

Karena saya tidak memperhatikan dan tidak mencari tahu, saya tak tahu pasti bagaimana mencapai starting point ini. Silahkan tanya pada warga setempat.

Katanya, di sini sapi-sapi dibiarkan berkeliaran bebas di padang. Lalu ketika sudah waktunya pulang, tinggal dipanggil dan mereka akan datang sendiri. Hebat sekali. Padang rumput yang luas, makanan yang melimpah. Tak heran sapi Lombok sehat-sehat dan kekar-kekar. Memang benar kata pepatah, beda padang beda belalangnya sapinya.

Selama melewati sabana nanti, kami tidak berjumpa dengan satu sapi pun. Mungkin mereka merumput di bagian lain agar tak mengganggu pendakian. Tapi aku berjumpa rombongan-rombongan sapi yang sedang diangon. Kloneng-kloneng bunyi loncengnya, drak-druk-drak-druk bunyi langkahnya.

Berangkat dari starting point : 6.40 WITA

Gunung Rinjani adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani yang luasnya sekitar 41.330 hektar. Kalau jadi diperluas hingga 70 ribu ha lebih, taman nasional ini akan lebih luas dari TN Bromo Tengger Semeru.

Jalan yang ditempuh amat landai pada awalnya. Landai hingga spot yang ditunjukkan pada foto berikut, dimana Sang Tinggi menjulang dengan gagahnya.

Tante Anna, Ibu, Daniel, dan Rinjani

Kemudian kami melewati padang rumput (sabana) yang landai, beberapa bukit kecil, mendaki sedikit saat melewati suatu hutan yang lebih mirip sekumpulan pohon di padang rumput, lalu beristirahat pada...

8.32 WITA
Sampai di tempat sarapan


Keuntungan hadirnya porter antara lain adalah: a) barang yang diangkut sendiri bisa lebih sedikit atau bahkan tak ada, b) bekal ada yang memanajemen pembagiannya, c) air yang berat tak perlu dibawa atau mencari sumber sendiri, kalau perlu tinggal minta, dan d) makanan ada yang memasakkan.


Peraduan Dewi Rinjani dari tempat sarapan

Kendalanya bagi ibu, aku, dan adikku Izzan hanya satu : dompet. Dan isinya.
Kami tidak menyewa porter sendiri. Di antara kalangan anak-anak, hanya Izzan yang membawa barangnya sendiri. Bahkan hanya dia yang membawa carrier. Kami setujui itu; tak menyewa porter. Tarifnya ratusan ribu per hari. Aku pun ingin mencoba batas kemampuanku.

Singkatnya, kami sarapan sambil berkenalan dengan porter-porter yang jumlahnya, untuk tim kami, ada 20 orang itu. Ada tiga serangkai yang mudah diingat: Yon, Yan, dan Han. Bang Yon yang ramah dan lucu kerap merangkap jadi pengasuh anak-anak selama perjalanan, dan Bang Hanan liat serta besar-besar ototnya. Ade Rai saja mungkin kalah. Bukan cuma mengangkat beban, Bang Hanan berlari membawa beban itu naik-turun gunung.
Di depan mata, berdiri megah Gunung Rinjani, bersinggasana di atas karpet hijau kekuningan sabana yang membentang. Lautan rumput berkilo-kilo meter untuk diarungi.

9.03 WITA
Selesai sarapan

Semangat kembali terisi seiring terisinya perut. Perjalanan dilanjutkan, kembali mengarungi sabana yang kelihatan berombak-ombak, tapi masih landai.
Lalu, secara perlahan, jalan mulai menanjak. Pertama-tama tak begitu terasa, paling ada satu atau dua tanjakan kecil di sana dan di sini. Aku hampir terlena, sampai seorang porter memberi tahu bahwa tantangan sebenarnya adalah setelah Pos 3 nanti, jadi siap-siap saja.

Tadi kubilang bahwa paling yang ada hanyalah tanjakan-tanjakan kecil, yang perlahan mulai menanjak. Tapi secara pelan tapi pasti pula, napas mulai terasa berat. Bahu mulai terasa terbebani. Kakiku selamat dari rasa berat karena sepatu yang kukenakan amatlah ringan. Lebih ringan dari sandal jepit. Serius.

Sudah mulai kelelahan? Ah, mungkin karena belum terbiasa. Apalagi karena kita mulai dari ketinggian sektiar 1100 mdpl. Mungkin karena matahari mulai merambat naik, menjadikan sabana yang tadi sejuk oleh kabut pagi terasa membara.

@Sabana, Sembalun, Rinjani. Kuning dan panas. Begitu SMS yang kukirimkan mumpung sinyal masih ada di sini.
Sabana. Kuning dan panas.

Mulai ada godaan untuk duduk beristirahat dan minum setiap selesai mendaki sebuah tanjakan yang, dari kejauhan, kelihatannya dekat saja, tapi semakin didekati semakin jauh. Tentu temptation semacam itu tak perlu selalu dituruti, diabaikan kalau bisa. Ketika hal-hal semacam ini mulai menyerang, ketika terompet perang dengan diri sendiri telah berkumandang, kugunakan kembali teknik yang kunamai teknik harkos. Teknik yang ampuh bagi mereka yang pintar menipu diri sendiri (lho?).

Caranya begini. Setiap kali berjalan, tetapkan suatu titik dan kuatkan niat untuk mencapai titik itu tanpa istirahat. Janjikan pada dirimu sendiri hal-hal seperti, “Aku akan istirahat 10 hitungan di situ”, “Aku boleh istirahat dan duduk sampai napasku kembali di batu itu”, “Aku boleh minum beberapa teguk di dekat pohon itu.” Lalu setelah mencapai target, lanjutkan langkah kalau memang masih mampu... walaupun rasanya tidak, lalu tetapkan titik lain dan ulangi cara di atas.

Ya, rasa sakitnya tuh disini (*nunjuk dada)  karena di-harkos-kan berkali-kali (walau oleh diri sendiri). Meskipun begitu, tujuan-tujuan jelas untuk jangka pendek menjaga fokus pikiran kita, sehingga pikiran tidak mengembara kemana-mana dan rasa optimis tetap ada.

Mungkin ini yang kita perlukan dalam hidup. Untuk mencapai tujuan yang besar, tujuan-tujuan kecil namun pasti diperlukan untuk meniti jalan ke sana.
Porter dengan bakul melintas.

Dengan cara demikian, aku berhasil mencapai Pos 2 Jalur Sembalun dengan napas masih cukup teratur dan HP masih lebih dari ¾. Yang kubutuhkan hanyalah istirahat sejenak mengingat kepala terasa diketok magic karena panas.

10.20 WITA
Pos 2 @1500 mdpl
"Pos 2 Tengengean"

Starting point → Pos 2 : + 3 jam tanpa berhenti

Saat kubilang padang rumput, yang kumaksud memang hamparan rumput kuning yang bak tanpa ujung. Sinar matahari memantul, membuat kacamata hitam adalah benda wajib untuk dibawa.

Tengah hari menjelang. Kulit terasa kering kriuk-kriuk, dan bisa kulihat bahwa hidungku sudah gosong terbakar matahari. Tak peduli betapa rapat topi sabana-ku atau betapa banyak sun screen yang dipakai. Not that I cared, anyway.

Yang membuat ngeri adalah fakta bahwa mood mulai merosot. This heat really was taxing. Emosi meluncur keluar kendali, dan dengan sisi diriku yang lain, yang masih rasional, mencoba untuk menggenggamnya kembali. Suatu keadaan dimana pribadi seakan terpecah, seperti sadar sewaktu marah lepas kendali tapi tak berdaya melawan.  Seperti.. setengah ditaklukan oleh perasaan negatif.  Adakah yang pernah merasa serupa?

Get a grip, you! Snap out of it!

Maka fokus kualihkan pada sabana yang bagai ombak lautan pasifik. Bergulung-gulung, almighty, dan masif dan terstruktur dan sistematis. Terlalu mengagumkan untuk dilewatkan.
Awan rendah yang seringkali turun. Diambil dari Pos 2 (kalau tidak salah)

Di Pos 2. Ibu, serta tumpukan sampah yang berserakan
Sungai lahar
Sementara itu, aku mulai frustasi karena terus dikalahkan oleh ibu yang bebannya dua kali lebih berat daripadaku, tapi jalan dua kali lebih cepat. Pada suatu titik aku berhasil menyusulnya, karena ibu sengaja melambat. Titik tersebut adalah sungai aliran lahar dangkal pada salah satu sisi bukit. Aku bukan geolog, tapi laharnya masih terlihat baru. Apa ini sungai yang mengalirkan hasil erupsi terakhir, tahun 2010 itu? Entahlah.


Porter yang menyusul menyemangati, berkata bahwa Pos 3 tak lagi jauh dari sini, kurang dari 1 jam berjalan. Aku mengangguk dan akhirnya bisa balas tersenyum. Bukan karena bisa istirahat sebentar lagi.. well, ya, sebagian karena itu, sebagian lagi karena sungai lahar barusan mengingatkanku bahwa banyak yang masih bisa dinikmati selama perjalanan ini.

Angin mulai bertiup, menyejukkan. Gulungan-gulungan awan tebal yang semula berarak menjauh, seakan setuju dan mendekat untuk meneduhi kami. Sedikit perjuangan tambahan dan kami tiba di pos makan siang, beberapa ratus meter di bawah Pos 3.
Di tempat makan siang
Begitu sampai, ransel carrier kubiarkan jatuh disusul tubuhku. Tak pernah ada ambruk yang lebih nikmat dari ambruk yang ini, berteduh dengan kaki lebih tinggi dari kepala untuk mengembalikan darah, membiarkan keringat dan angin sepoi mendinginkan tubuh.

12.31 WITA
Pos 3. Masak makan siang

Mengantuk. Mengantuk sekali. Terlalu mengantuk hingga rasanya tak benar. Aku akan tidur, 2 jam isitrahat itu kalau bisa, seandainya ibu tak memaksaku makan. Setelah mencoba dan merasakan betapa sulitnya, aku sadar...

Kepala yang pusing dan berdenyut. Kantuk. Sulit makan. Emosi labil.

Di ketinggian kurang dari 2000 mdpl, aku sudah kena penyakit ketinggian.

Haha. Aku bakal tertawa seandainya aku bisa.

Ibuproven saved me. I don't know what kind of drug that was exactly, but it worked like magic. Kami masing-masing dibekali ibu sekotak kecil obat-obatan dan sekeresek madu+tolak angin. Selain Ibuproven tadi, ada Hemaviton, Paracetamol, dan Habatussauda.

Makan dan tidur-tidur ayam selama beberapa jam istirahat itu, manjur mengembalikan tenaga. Menu makanan yang diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi nutrisi yang diperlukan, terbukti pas bagi tubuh yang membutuhkannya. Kami menggelar terpal dan shalat, beberapa hal lain yang melibatkan pendirian dinding dan tissue, dan kami berangkat lagi.

Pos 2 → Pos 3 : + 2 jam perjalanan tanpa berhenti
Starting point → Pos 3: + 4 jam perjalanan tanpa berhenti

Kami kembali melangkah, melangkah, dan melangkah. Pos 3 kami lewati. Matahari mulai condong ke barat, sore sudah menghampiri. Langkah demi langkah. Bukit demi bukit. Begitu banyaknya sehingga tak ada lagi yang menghitung, sudah berapa bukit yang dilewati.

Dari apa yang kami dengar dari porter, etape terakhir menuju Plawangan Sembalun adalah yang paling berat, dengan julukan yang seram pula: Bukit Penyesalan. Atau Bukit Penderitaan. Aku lupa mana yang kami lewati, sebab kesaksian para porter berbeda, tapi yang jelas salah satu dari itu. Dan meski namanya 'bukit', kenyataannya ada lebih dari satu bukit. Jumlahnya pun berbeda-beda menurut setiap orang.

Tepat setelah melewati salah satu bukit yang cukup melelahkan, aku bertanya pada porter yang menyusul di belakangku.

“Mas, ini Bukit Penyesalan yang keberapa ya?”
Jawaban yang kudapat, “Wah, mulai saja belum, Mbak! Tuh, di depan..”

Gubrak.

Brace yourself, Nan.

Aku memutar badan kembali ke depan, tapi mataku terpaku pada pemandangan di sisiku. Sebuah puncak menyembul dari kumpulan awan, matahari menyinarinya bagai lampu spotlight.

Puncak Rinjani.

3726 meter di atas permukaan laut. Masih 1,5 kilo vertikal di atas titik tempatku berdiri. Jadi atau tidaknya aku ke sana besok pagi, tergantung apakah aku masih utuh menyelesaikan etape terakhir hari ini.

Kutarik napas dalam-dalam. Udara yang kering tapi bersih memenuhi rongga paru-paru.

Masih. Selama masih bisa melangkah, selama masih bernapas, aku masih mampu.

Aku kini siap menghadapi jawaban apapun dari porter tentang “Bukit Penyesalan itu ada berapa bukit?”

“Cuma 3 Mbak, tapi yang kecil-kecil nggak dihitung.”
“Satu, dua... 5 atau 6 lah, kira-kira.” Itu jawaban yang lain.
“Dua belas!”
Here, Nan. Everything is relative...” salah seorang sahabatku pernah berkata, dan mungkin ada benarnya. Entah itu langit paling cerah, bintang yang terlihat paling terang, atau bukit yang merupakan penyiksaan.

Bukit Penyesalan telah dimulai.

Pohon-pohon merimbun, vegetasinya bertambah dengan kelompok Gymnospermae, selain rerumputan.  Cahaya dari langit semakin tertutupi, membuat keadaan lebih redup dari sebenarnya.

Bukit-bukit yang awalnya dalam medan pandang, kini tersembunyi karena kontur gunung yang semakin terjal. Jalan setapak seakan naik vertikal saja rasanya, dan semua yang terlihat hanyalah puncak dari bukit yang ini. Hanya satu puncak yang terlihat, puncak ke mana kita sedang menuju. Tapi apakah puncak itu satu-satunya yang ada? Tidak! Di balik bukit, masih ada bukit. Dan dibalik bukit yang berada di balik bukit tersebut, masih ada bukit lagi.

Sejak bersua lagi dengan Puncak Rinjani tadi, sebelum Bukit Penyesalan dimulai, kecepatan jalanku telah menurun dan kini aku mendaki susul-menyusul dengan sebuah rombongan dari Malaysia. Tim ini beranggotakan kelompok bapak-bapak yang sudah kepala 4 dan IMT-nya lebih dari 25 alias gendut Tentu semua ini perkiraanku sendiri; tak mungkin aku bertanya.  Meskipun begitu mereka tampak tangguh dengan carrier-carrier besar yang mereka bawa sendiri.

Susul menyusul disertai sapaan akhirnya berujung perbincangan. Di tengah bukit-bukit serta napas yang mulai berat, kami berbicara tentang budaya dalam dua bahasa yang serupa tapi tak sama. Aku berusaha menggunakan kata-kata Bahasa Indonesia yang umum, tapi perbedaan kosa kata tak terelakkan dan kadang perbincangan berhenti untuk menanyakan arti sebuah kata.

16.28 WITA
Tanjakan penyesalan 5/7. Berhenti u/ makan cokelat.
Daniel cs., Tante Chitra, Tante Ratih dan Ibu sudah di depan.

Daniel cs. berarti adikku Izzan, beserta temannya Damar dan Daniel sendiri. Mereka ada di depanku.
Tante-tante dan Ibu yang umurnya 40-an, yang tak lama lagi akan tergolong manula (seperti kata Izzan), tak berhasil kususul. Mereka ada di depanku.

Kesimpulan: aku tertinggal oleh sekelompok bocah dan sekelompok tante-tante. Rasanya agak menyakitkan. Aku mempercepat langkah.

Beberapa bukit kemudian, darah tertumpah. Damar, salah satu dari 3 bocah yang kusebutkan tadi, mimisan. Mereka tak terlalu jauh sehingga sebentar kemudian aku menyusul mereka,  menemaninya sebentar, dan mendaki lagi ketika ayahnya datang. Aku tak khawatir meninggalkan Damar dan adikku Izzan pun menemaninya. Mereka sudah jauh lebih kuat mental sejauh ini, mereka tak akan menyerah sampai di sini.

Siapa bilang darah muda darahnya para remaja? Rhoma Irama, ya? Jelas beliau belum pernah mendaki gunung, berhari-hari, ditemani oleh bocah-bocah yang mendaki sambil lari-lari karena mereka sedang bermain “jadi mobil rally”, sementara pendaki lain termasuk yang remaja suaranya sudah kayak bemo mogok. Tidak, darah muda yang empunya adalah bocah-bocah. 
Buktinya adalah foto ini, yang diambil ketika bocah-bocah sedang asyik dengan dunia mereka:
Bukan gaya atau apa. Tapi tak sanggup duduk untuk mengambil foto. Tepar di Pos 2.

Beberapa bukit kemudian lagi, aku berhenti untuk memperahtikan langit. Matahari sudah menyentuh horizon; tak lama lagi Sang Surya akan kembali ke peraduannya. Apa yang akan menjadi terhadap kita nanti?

Kuhadang seseorang, porter siapapun yang sedang melintas.
“Mas.. kira-kira bisa sampai sebelum gelap, tidak?” tanyaku.
Mas dengan kaki bersendal jepit, kaus oblong dan bakul berisi barang bawaan menatapku, his eyes full of concern.
“Nggak bawa senter?”
Tidak, begitu jawaban yang tidak diucapkannya. Seandainya aku jalan cepat di setapak ini, seandainya bisa, tentu aku masih tiba setelah gelap. Kuterima fakta ini  dengan lapang dada. Menjelaskan bahwa aku punya senter lalu mengeluarkannya dari carrier, perjalanan diteruskan. Porter yang barusan melaju melewatiku, hilang dari pandangan semenit kemudian.

Aku terlambat beberapa jam dari jadwal. Setengah dari tim mungkin sudah sampai, setengah lagi tertinggal di belakang. Matahari sudah setengahnya hilang dibalik punggungan. Bukit Penyesalan masih membentang.

Langkahku mempercepat, pelan tapi pasti. Aku benar-benar ingin tiba di camp Plawangan Sembalun sebelum gelap. Langit semakin gelap dalam tempo yang singkat, membuat orang merasa kehabisan waktu. Aku memacu langkah. Tim Malaysia yang tadi selaras denganku tertinggal semakin jauh di belakang, dan aku melambaikan perpisahan. Wah, inilah yang dinamakan the power of kepepet.
The greatest power ever known for humans to posses.

Ketinggian 2600 mdpl. 12 jam sudah kuhabiskan dalam pendakian hari ini. Matahari sudah tak tampak, namun angit masih menyisakan pendar ungu tua serta sedikit semburat oranye di ufuk barat sana. Angin gunung mulai bertiup, dinginnya tak terbayangkan hingga dialami sendiri. Sudah dingin, ditambah lagi baju tipis yang basah kuyup kena keringat.  Akhirnya..

18.48 WITA
Sampai di Plawangan

Segara Anak dari Plawangan Sembalun
Dalam keadaan demikian kujejakkan kaki di Plawangan Sembalun. Aku disambut sapaan pemberi semangat dari porter yang sudah (lama sekali) tiba serta pemandangan Danau Segara Anak dalam keremangan. Seorang anggota timku, sama-sama generasi 2 alias remaja, sedang menunggu di sana. Cheese! Selfie pertama yang kulakukan adalah bersama Danau Segara Anak. Kurang keren apa?


Pos 3 → Plawangan Sembalun : 2,5 jam tanpa berhenti.
Starting point → Plawangan Sembalun : 6.5 - 7 jam tanpa berhenti.

… yet, I needed 13 hours to got there. I considered myself a strong one, carrying 12 kilograms to the height I had never been at before, without proper preparations but guts, still.... Yah, memang agak sulit untuk mendaki seharian tanpa berhenti 'kan? Bahkan para porter juga butuh istirahat, walau waktu 7 jam sebenarnya cukup bagi mereka...

Softlensku sudah seperti hendak meloncat lepas. Tapi tidak, tidak bisa sekarang. Aku masih harus menemukan tenda-tenda tim KMPA-G di antara lautan tenda di Plawangan ini. Ada puluhan tenda tersebar di punggungan sempit itu, belum menghitung kakus darurat. Agak seram juga kalau diingat sekarang. Di satu sisi punggungan adalah kaldera, dengan Danau Segara Anakan di tengahnya. 600 meter vertikal ke bawah atau sekitar 4 jam perjalanan kaki dari sini. Di sisi lain ada lembah curam yang mustahil didaki, kecuali dipanjat.

Dan di punggungan adalah tenda dan tali pasak yang silang menyilang bagai jaring laba-laba, serta kegelapan karena minimnya cahaya kecuali dari senter atau api.

Melihat tenda-tenda sudah tampak amat melegakan sekaligus menjengkelkan. Ketika menyadari bahwa masih harus mendaki 3 bukit lagi sebelum beristirahat, setelah 13 jam mendaki, padahal pendaki-pendaki lain sudah nyaman dalam sleeping bag atau dekat api unggun... yah, bayangkan saja betapa frustasinya.

Singkat cerita, ketika sampai di tenda, baru kusadari betapa lelahnya badan ini. The power of kepepet telah habis dan efek samping mulai terasa. Aku terduduk di sebelah carrier, tak bisa bergerak untuk sementara entah mengapa.

Dingin. Dingin. Tidak seperti es yang menyentuh kulit, ini dingin yang diam-diam menghanyutkan. Tidak menyengat tapi melumpuhkan. Saat ini aku tak bisa bergerak, tak bisa menggigil walau kedinginan. Entah karena lelah atau gejala awal hipotermia, entahlah. Aku seperti tak berkepala,.

Ujung jari mulai memutih. Sekarang rasanya aku tak berjari. Digigit pun tak terasa.

Mengganti baju basah dengan yang kering.
Aku ingat aku tak di dalam tenda waktu itu. Aku tak tahu tendaku yang mana. Lalu bagaimana caranya aku ganti baju? Masih merupakan misteri hingga sekarang karena aku benar-benar tak ingat. Masakan di luar?

Memakan cokelat untuk memulihkan tenaga.
Aku mengungsi ke tenda rekan se-tim dan makan. Aku tak tahu cokelat siapa yang kumakan. Atau apa saja yang kumakan.

Hanya dua hal itu yang sempat kupikirkan dan kulaksanakan sebelum akhirnya jatuh tertidur. Tidak membuat jurnal, tidak mengambil foto, tidak mengecek rekan yang lain, bahkan tidak mau repot membereskan barang yang masih diluar ketika mengambil baju ganti tadi. Baju yang basah kulemparkan begitu saja ke atas semak supaya kering. Hanya tidur-tidur ayam, numpang di tenda orang lain. Aku memikirkan Ibu dan Izzan.

Izzan jalan lebih lambat karena terus menemani Damar yang mimisan tadi. Ibu pasti menemani mereka juga. Malam semakin larut dan aku semakin khawatir. Sangat khawatir. Betapa sulitnya  melalui Bukit Penyesalan hanya dengan cahaya senter!
Pos tambahan, di sabana. Kenapa fotonya ditaruh di sini? Terserah dong.

Sekitar pukul 10 malam, mereka tiba. Aku menemukan tendaku dan kami bertiga menyiapkan tempat tidur di tenda kapasitas 2 orang kami.

Ibu menghangatkan tenda dengan memasak di dalamnya. Trik baru yang didapatnya, dan terus dilakukannya karena Ibu tak tahan dingin. Panas dari kompor gas portabel yang kami bawa terkurung di dalam tenda sehingga bukan saja hangat, tapi panas jadinya.

Aku memang kena penyakit ketinggian. Itu vonis Ibu. Berbagai pil kutelan (kurasa itu Ibuproven lagi, tapi pikiranku sudah timbul-tenggelam antara sadar dan tidak), dan makanan serta minuman panas kutelan paksa. Sekitar pukul 11 malam, kami pergi tidur.

11. 04 WITA
Siap-siap tidur.

Summit attack akan dilakukan besok. BESOK! Wah, besok tinggal sejam lagi.

Hanya ada 3 jam untuk beristirahat, karena kami berangkat pukul 2 dini hari. Berangkat mendaki tumpukan pasir dan abu vulkanik ini, yang, ngomong-ngomong, ada yang bilang lebih sulit dari 300 meter terakhir Mahameru. Wahai! Bukan hanya 300 meter yang dilalui, tapi 1 kilometer vertikal ke atas sana.

Dengan kondisi babak-belur begini, yang adalah alasan mengapa sistem SKS amat tidak disarankan, aku tak yakin apakah bisa aku ikut muncak besok. But we've come this far...

Berbaring lalu berdoa, aku berharap gaiter kuning dan hitam itu tidak dibawa sia-sia.,.

No comments:

Post a Comment