Kejutan. A nasty surprise.
Sayang sekali harus mengawali post awal tahun dengan ini.
Tahun pertama di SMA, aku tak tahu
mengapa aku memilih kabaret sebagai ekskul. Aku tak bisa berakting, tak punya
bakat untuk itu, juga tak begitu tertarik untuk melakukannya. Tetap saja, aku
bertahan melalui berbagai macam tugas aneh, hingga akhirnya tiba pada hari
terakhir kaderisasi.
Khas kaderisasi yang melibatkan
kelompok, ada permainan pos-posan dimana kami diping-pong dari satu tempat ke
tempat lain untuk menjalani tes absurd. Akhirnya kami diarahkan ke salah satu
ruangan kelas. Ruangan itu telah disulap secara mengerikan; gelap, berantakan,
noda-noda mirip darah di lantai, robekan kain yang menggelepar dan terserak.
Terdapat beberapa barang untuk mendalami peran. Rupanya, masing-masing dari
kami akan mendapat satu alat bantu untuk menciptakan kondisi, dan kami harus
berakting menyesuaikan.
Bagianku adalah sesosok benda yang
ditutupi kain putih, menyerupai jenazah. Sosok itu terletak di atas sebuah
tikar. Aku mendekati dan berlutut di sampingnya. Kukumpulkan pikiran dan napas,
dan mulai berakting. “Bayangkan, seseorang yang kau sayangi, yang kau cintai,
meninggal. Mati! Mati!” adalah instruksi yang kuterima. Damn. Jadi, aku harus
berlinangan air mata.
Untuk beberapa saat lamanya, setelah
aba-aba “Mulai!” diberikan, ruangan itu hiruk pikuk dengan berbagai suara.
Dengan raungan, tangisan, erangan, umpatan, bujukan, teriakan, rayuan, pekikan,
semua ekspresi yang dapat manusia ungkapkan lewat suara dari mulutnya. Bahkan
sesekali terdengar suara yang tak manusiawi sama sekali, yang tak memiliki nama
untuk mewakilinya. Ditengah kebisingan itu, terdengar para pelatih meneriakkan
instruksi.
“Penjiwaannya mana?! Jiwai rasa
sakit ibu kamu waktu melahirkan kamu!”
“Terus! Terus! Lebih ekspresif
lagi!”
“Hei, bodoh! Kamu akting jadi apa,
ha? Orang gila?”
“Mana ada orang ditolak
ketawa-ketawa! Nangis! Coba nangis!”
Aku, aku pun sudah dengan aktingku.
Setelah beberapa saat, kurasakan salah satu pelatih mendekatiku, kehadirannya
di balik punggungku. Aku tak peduli. Energi dan pikiran kucurahkan untuk satu
ide yang sama sekali tak kusukai. Ide yang entah mengapa terlintas di benakku,
yang tampak begitu nyata sehingga nyaris tak tampak seperti berpura-pura. Aku
terisak, meraungkan penyesalan pada seseorang yang tak kuasa lagi memaafkan.
Pelatih itu menjauh dariku tanpa
satu pun instruksi maupun komplain. Kemudian, aku akan tahu bahwa dari semua
yang ada di ruangan itu, dengan akting sedih, hanya aku yang berhasil
menitikkan air mata.
Aku berhasil menangis dengan
membayangkan bahwa aku harus kehilangan adikku.
--------------------
Kawan, pernahkan kau dikejutkan oleh
sesuatu? Sangat terkejut, shock tepatnya?
Kutemukan bahwa jenis shock
ini ada dua.
Yang pertama serupa impuls dengan
amplitudo teramat besar, besar tak terkatakan. Sebuah saja. Sebuah guncangan
yang membuatmu terpaku beberapa saat, kehilangan kendali diri untuk hitungan
waktu tertentu. 'Sehingga bisa dipukul jatuh dengan selembar bulu,' suatu
ekspresi menyatakan. Setelah itu, kau menerima kejutan itu, dan kau bisa saja
hancur. Namun, cepat atau perlahan, bangkit. Manusia memang memiliki kekuatan
itu.
Jenis yang kedua lebih serupa
megatsunami, yang datang dalam satu, dua, beberapa gelombang. Yang paling
menghancurkan adalah gelombang pertama, memang. Dan setiap kali kau berupaya
mengatasinya, gelombang shock berikutnya datang dan memberikan tamparan
yang sama.
Bayangkan hal ini sebagai reaksi
kimia reversible, bolak-balik, yang belum mencapai kesetimbangan. Reaksi
akan berjalan ke kanan membentuk produk yang lebih banyak, lalu akan timbul
reaksi sebaliknya sehingga reaktan yang sebelumnya berkurang, kembali
bertambah. Bertambahnya reaktan memcicu
reaksi pembentukan produk, dan berulang. Kukira, selama kenyataan dan perasaan
belum mencapai ekuilibrum, kita akan terombang-ambing seperti ini. Dan, setiap
kali terhempas, rasanya seperti merasakan shock itu lagi. Mengalami
gelombang pertama itu lagi, walau sedikit demi sedikit, kadarnya berkurang.
Maka,
apabila shock tipe pertama adalah reaksi kimia yang berkesudahan, jenis
kedua merupakan reaksi tanpa kesudahan. Kita tidak pernah benar-benar menerima
apa yang terjadi, hanya bertenggang rasa dengan fakta yang ada. Melakukan
hubungan timbal-balik dengan kenyataan, untuk mencapai kondisi yang
tertahankan.
Analogi yang sangat bagus. Haha.
-----------------------------------
Aku kehilangan adikku.
Bukan kehilangan yang suci seperti
melepas kepergian seorang syuhada. Bukan kehilangan yang membuatmu
menghembuskan napas setelah tertahan amat lama; kehilangan yang mungkin lebih
baik, seperti akhir perjuangan melawan penyakit yang berujung kematian. Bukan
kehilangan yang mengharukan, seperti orangtua yang memercayakan putrinya pada
lelaki pasangan hidupnya. Bukan kehilangan yang menjanjikan. Bukan kehilangan
yang menyenangkan.
Kehilangan ini getir dan pahit. Pun ia menistakan.
Kehilangan bukanlah pergi.
Kehilangan adalah kondisi mustahil mendapatkan sesuatu kembali.
No comments:
Post a Comment