Tuesday, January 5, 2016

Kejutan dan Kehilangan


Kejutan. A nasty surprise.
Sayang sekali harus mengawali post awal tahun dengan ini.




            Tahun pertama di SMA, aku tak tahu mengapa aku memilih kabaret sebagai ekskul. Aku tak bisa berakting, tak punya bakat untuk itu, juga tak begitu tertarik untuk melakukannya. Tetap saja, aku bertahan melalui berbagai macam tugas aneh, hingga akhirnya tiba pada hari terakhir kaderisasi.
            Khas kaderisasi yang melibatkan kelompok, ada permainan pos-posan dimana kami diping-pong dari satu tempat ke tempat lain untuk menjalani tes absurd. Akhirnya kami diarahkan ke salah satu ruangan kelas. Ruangan itu telah disulap secara mengerikan; gelap, berantakan, noda-noda mirip darah di lantai, robekan kain yang menggelepar dan terserak. Terdapat beberapa barang untuk mendalami peran. Rupanya, masing-masing dari kami akan mendapat satu alat bantu untuk menciptakan kondisi, dan kami harus berakting menyesuaikan.
            Bagianku adalah sesosok benda yang ditutupi kain putih, menyerupai jenazah. Sosok itu terletak di atas sebuah tikar. Aku mendekati dan berlutut di sampingnya. Kukumpulkan pikiran dan napas, dan mulai berakting. “Bayangkan, seseorang yang kau sayangi, yang kau cintai, meninggal. Mati! Mati!” adalah instruksi yang kuterima. Damn. Jadi, aku harus berlinangan air mata.
            Untuk beberapa saat lamanya, setelah aba-aba “Mulai!” diberikan, ruangan itu hiruk pikuk dengan berbagai suara. Dengan raungan, tangisan, erangan, umpatan, bujukan, teriakan, rayuan, pekikan, semua ekspresi yang dapat manusia ungkapkan lewat suara dari mulutnya. Bahkan sesekali terdengar suara yang tak manusiawi sama sekali, yang tak memiliki nama untuk mewakilinya. Ditengah kebisingan itu, terdengar para pelatih meneriakkan instruksi.
            “Penjiwaannya mana?! Jiwai rasa sakit ibu kamu waktu melahirkan kamu!”
            “Terus! Terus! Lebih ekspresif lagi!”
            “Hei, bodoh! Kamu akting jadi apa, ha? Orang gila?”
            “Mana ada orang ditolak ketawa-ketawa! Nangis! Coba nangis!”
            Aku, aku pun sudah dengan aktingku. Setelah beberapa saat, kurasakan salah satu pelatih mendekatiku, kehadirannya di balik punggungku. Aku tak peduli. Energi dan pikiran kucurahkan untuk satu ide yang sama sekali tak kusukai. Ide yang entah mengapa terlintas di benakku, yang tampak begitu nyata sehingga nyaris tak tampak seperti berpura-pura. Aku terisak, meraungkan penyesalan pada seseorang yang tak kuasa lagi memaafkan.
            Pelatih itu menjauh dariku tanpa satu pun instruksi maupun komplain. Kemudian, aku akan tahu bahwa dari semua yang ada di ruangan itu, dengan akting sedih, hanya aku yang berhasil menitikkan air mata.
            Aku berhasil menangis dengan membayangkan bahwa aku harus kehilangan adikku.

--------------------

            Kawan, pernahkan kau dikejutkan oleh sesuatu? Sangat terkejut, shock tepatnya?
            Kutemukan bahwa jenis shock ini ada dua.
            Yang pertama serupa impuls dengan amplitudo teramat besar, besar tak terkatakan. Sebuah saja. Sebuah guncangan yang membuatmu terpaku beberapa saat, kehilangan kendali diri untuk hitungan waktu tertentu. 'Sehingga bisa dipukul jatuh dengan selembar bulu,' suatu ekspresi menyatakan. Setelah itu, kau menerima kejutan itu, dan kau bisa saja hancur. Namun, cepat atau perlahan, bangkit. Manusia memang memiliki kekuatan itu.
            Jenis yang kedua lebih serupa megatsunami, yang datang dalam satu, dua, beberapa gelombang. Yang paling menghancurkan adalah gelombang pertama, memang. Dan setiap kali kau berupaya mengatasinya, gelombang shock berikutnya datang dan memberikan tamparan yang sama.
            Bayangkan hal ini sebagai reaksi kimia reversible, bolak-balik, yang belum mencapai kesetimbangan. Reaksi akan berjalan ke kanan membentuk produk yang lebih banyak, lalu akan timbul reaksi sebaliknya sehingga reaktan yang sebelumnya berkurang, kembali bertambah. Bertambahnya reaktan  memcicu reaksi pembentukan produk, dan berulang. Kukira, selama kenyataan dan perasaan belum mencapai ekuilibrum, kita akan terombang-ambing seperti ini. Dan, setiap kali terhempas, rasanya seperti merasakan shock itu lagi. Mengalami gelombang pertama itu lagi, walau sedikit demi sedikit, kadarnya berkurang.
            Maka, apabila shock tipe pertama adalah reaksi kimia yang berkesudahan, jenis kedua merupakan reaksi tanpa kesudahan. Kita tidak pernah benar-benar menerima apa yang terjadi, hanya bertenggang rasa dengan fakta yang ada. Melakukan hubungan timbal-balik dengan kenyataan, untuk mencapai kondisi yang tertahankan.
            Analogi yang sangat bagus. Haha.

 -----------------------------------

            Aku kehilangan adikku.
            Bukan kehilangan yang suci seperti melepas kepergian seorang syuhada. Bukan kehilangan yang membuatmu menghembuskan napas setelah tertahan amat lama; kehilangan yang mungkin lebih baik, seperti akhir perjuangan melawan penyakit yang berujung kematian. Bukan kehilangan yang mengharukan, seperti orangtua yang memercayakan putrinya pada lelaki pasangan hidupnya. Bukan kehilangan yang menjanjikan. Bukan kehilangan yang menyenangkan.
            Kehilangan ini getir dan pahit. Pun ia menistakan.
           
            Kehilangan bukanlah pergi. Kehilangan adalah kondisi mustahil mendapatkan sesuatu kembali.

No comments:

Post a Comment