Tuesday, May 31, 2016

Peserta SBMPTN 2016 Termuda (?)

Aku akan menulis post ini dengan sedikit bumbu kesan fenomenal.

Jadi, ketika SBMPTN 2016 sedang berlangsung, sekitar pukul 10.30 tadi pagi, ponselku berdering dan membawa kabar aneh. Kabar aneh itu membuatku menyalakan TV, mencari channel yang kemudian menayangkan berita ini:

Ada tiga hal yang terasa ganjil untukku, yaitu:
1. pemuda yang tertampang di layar TV adalah yang setiap hari kuomeli dan kusuruh-suruh karena ia adalah adikku, Musa Izzanardi Wijanarko,
2. embel-embel ‘peserta SBMPTN termuda 2016', nasional lagi. Suatu statement yang berani, semoga ada data yang mendukung, dan
3. umurnya 13 tahun
(?!)

Tentu aku tak heran dengan fakta bahwa ia ikut SBMPTN hari ini. Bukankah tadi pagi aku melepasnya pergi dari teras rumah? Kami bahkan sempat membahas satu materi kimia selagi menunggu Ibu bersiap-siap. Memang kalau Ibu bersiap-siap, kami pasti sempat melakukan apa saja :p Terlebih, selama kurang lebih 2 minggu terakhir ini.. well, selama itulah waktu efektif aku ikut menemaninya belajar. Aku tegang mengantisipasi hari ini, mungkin lebih dari dia.

Aku hanya tak menyangka ada media yang tahu dan menganggapnya news worthy enough, bahkan untuk sebuah berita selintas di siang hari. Sempat terlintas, “what’s so special?” tapi ketika kupikir lagi, mending juga ada berita seperti ini. Pasalnya, selain affair tentang kehidupan selebritas, banyak pula berita-berita gelap seperti pembunuhan, penemuan mayat bayi yang dibuang - diduga hasil hubungan gelap, seorang anak SD di(isi sendiri, Anda tahulah) 21 orang. Suram.

What’s so special?

Tentu aku tahu umurnya lebih muda dari kebanyakan peserta SBMPTN. Sedikit lebih muda.

Sedikit?

Boleh dibilang aku juga agak kaget ketika terpampang di layar itu: 13 tahun. Bukan, bukan karena aku tak tahu tanggal lahirnya. Aku menghitung dalam hati. Ya, kalau seseorang lahir Oktober 2012 umurnya memang 13 tahun sekarang. Aku sendiri SBMPTN saat umurku 17 tahun. Beda empat tahun; tidak sedikit juga. Tapi aku memang tak pernah menganggapnya sekecil itu, sehingga agak terperangah ketika diberi tahu. Aneh ya.

Dari dulu, dalam soal-soal akademis, terutama matematika dan fisika, dia selalu kuanggap setara. Bahkan ada masa ketika bukan saja setara; akulah yang lebih inferior. Entah karena aku yang terlampau bodoh (padahal aku juara kelas, lho) atau memang dia berbakat di bidang itu. Maka, ada masa-masa aku terasa tersaingi dan ego-ku sedikit terluka sebagai kakak, yang mungkin merasa harus unggul di setiap hal dibanding adiknya. Tapi tak lama, aku berdamai dengan fakta. Dan sejak itu, mungkin, adikku tak kuanggap ‘masih kecil’. Ia seperti rival di tingkat yang sama, aku mengakuinya, paling tidak untuk matematika dan fisika itu. Kimia dan Biologi tetap aku yang lebih jago, haha. Aku lupa sama sekali kalau anak sebayanya, umumnya, duduk di SMP atau baru tamat.

Pada masa-masa tersaingi itu, aku bersikap cenderung tak mau mengakui, bahkan mungkin meremehkan, tapi toh kemampuannya tak bisa kupungkiri juga. Ia berada di bawah bimbingan Ibu, jadi aku tak begitu mengikuti. Aku baru akan masuk SMA ketika itu, sekitar 5-6 tahun lalu. Selama SMA, aku mulai paham kemampuannya, terutama ketika aku mempelajari sendiri materi yang telah dikuasainya sejak lama. Aku mengerti, dan aku tak lagi iri.

Tetap saja, aku tak yakin benar mengapa dia bisa mengerti materi-materi ‘berat’ itu. Tak sekedar mengerti, tampaknya ia ringan dan asyik saja mengerjakan soal-soal. Aku tak tahu pasti cara belajarnya, tapi Ibuku, yang selalu mendampinginya, tahu.

Kay. Kesimpulan itu membuatku merasa perlu mendukung Ibu berkenaan bukunya. Buku itu baru di-launching 8 Mei ini, berjudul “Melihat Dunia”, dan berisi segala hal yang tak aku ketahui itu. Cara belajar Izzan dan perkembangannya dan lainnya. Ini dia:

 
Di antara orang-orang yang berpendapat, pasti ada yang mengatakan, untuk apa anak sekecil itu diburu-buru masuk kuliah? Ada. Pasti ada. Karena temanku pun ada yang mengatakannya. Atau, apakah dia dipaksa?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, jawaban yang lengkap dan baik, maksudku, ada di latar belakang pendidikan Izzan. Belajar secara homeschool. Ia sempat tidak naik kelas di TK. Sempat tidak bisa ikut UN karena terpentok batas umur. Satu alasan dan lainnya, dan Ibu mengerti hal itu lebih baik. 

Jawabanku: karena dia mampu. Dia sudah menamatkan SMA, dia mampu menerima tantangan lebih, dan ia sudah punya minat yang ingin ia dalami. Soal-soal SBMPTN yang sulit adalah media untuk memotivasinya belajar lebih giat.  Apakah ia dipaksa? Selama persiapan, aku ikut mendampinginya, semacam supervisor (haha), dan kami belajar sedang-sedang saja. Tidak swotting seperti dulu kasusku; dari pagi sampai malam di tempat les intensif. Ia tak tampak kesulitan dengan ‘sedang-sedang saja’ ini, santai-santai saja, dan tak perlu ada paksaan.

Maka, apabila Allah berkehendak, biarkan dia menjalani dunia perkuliahan dan melihat lebih jauh batas kemampuannya. Jika tidak FMIPA ITB atau UI kali ini, mungkin kali berikutnya, atau pada kesempatan lain. Jika tidak, berarti masih ada yang bisa atau harus dilakukannya sementara itu.

Jadi, otsukare sama deshita! Selamat kepada semua pejuang tulis SBMPTN 2016 yang telah melaksanakan tes.


Dan ya, Selamat Hari Tanpa Tembakau.

No comments:

Post a Comment