Aku akan menulis post ini dengan sedikit bumbu kesan
fenomenal.
Jadi, ketika SBMPTN 2016 sedang berlangsung, sekitar pukul
10.30 tadi pagi, ponselku berdering dan membawa kabar aneh. Kabar aneh itu
membuatku menyalakan TV, mencari channel yang kemudian menayangkan berita ini:
Ada tiga hal yang terasa ganjil untukku, yaitu:
1. pemuda yang tertampang di layar TV adalah yang setiap
hari kuomeli dan kusuruh-suruh karena ia adalah adikku, Musa Izzanardi Wijanarko,
2. embel-embel ‘peserta SBMPTN termuda 2016', nasional lagi.
Suatu statement yang berani, semoga ada data yang mendukung, dan
Tentu aku tak heran dengan fakta bahwa ia ikut SBMPTN hari
ini. Bukankah tadi pagi aku melepasnya pergi dari teras rumah? Kami bahkan
sempat membahas satu materi kimia selagi menunggu Ibu bersiap-siap. Memang kalau
Ibu bersiap-siap, kami pasti sempat melakukan apa saja :p Terlebih, selama
kurang lebih 2 minggu terakhir ini.. well, selama itulah waktu efektif aku ikut
menemaninya belajar. Aku tegang mengantisipasi hari ini, mungkin lebih dari
dia.
Aku hanya tak menyangka ada media yang tahu dan menganggapnya
news worthy enough, bahkan untuk
sebuah berita selintas di siang hari. Sempat terlintas, “what’s so special?” tapi ketika kupikir lagi, mending juga ada
berita seperti ini. Pasalnya, selain affair
tentang kehidupan selebritas, banyak pula berita-berita gelap seperti
pembunuhan, penemuan mayat bayi yang dibuang - diduga hasil hubungan gelap,
seorang anak SD di(isi sendiri, Anda tahulah) 21 orang. Suram.
What’s so special?
Tentu aku tahu umurnya lebih muda dari kebanyakan peserta
SBMPTN. Sedikit lebih muda.
Sedikit?
Boleh dibilang aku juga agak kaget ketika terpampang di
layar itu: 13 tahun. Bukan, bukan karena aku tak tahu tanggal lahirnya. Aku
menghitung dalam hati. Ya, kalau seseorang lahir Oktober 2012 umurnya memang 13
tahun sekarang. Aku sendiri SBMPTN saat umurku 17 tahun. Beda empat tahun; tidak
sedikit juga. Tapi aku memang tak pernah menganggapnya sekecil itu, sehingga
agak terperangah ketika diberi tahu. Aneh ya.
Dari dulu, dalam soal-soal akademis, terutama matematika dan
fisika, dia selalu kuanggap setara. Bahkan ada masa ketika bukan saja setara;
akulah yang lebih inferior. Entah karena aku yang terlampau bodoh (padahal aku
juara kelas, lho) atau memang dia berbakat di bidang itu. Maka, ada masa-masa
aku terasa tersaingi dan ego-ku sedikit terluka sebagai kakak, yang mungkin
merasa harus unggul di setiap hal dibanding adiknya. Tapi tak lama, aku
berdamai dengan fakta. Dan sejak itu, mungkin, adikku tak kuanggap ‘masih kecil’.
Ia seperti rival di tingkat yang sama, aku mengakuinya, paling tidak untuk
matematika dan fisika itu. Kimia dan Biologi tetap aku yang lebih jago, haha.
Aku lupa sama sekali kalau anak sebayanya, umumnya, duduk di SMP atau baru
tamat.
Pada masa-masa tersaingi itu, aku bersikap cenderung tak mau
mengakui, bahkan mungkin meremehkan, tapi toh kemampuannya tak bisa kupungkiri
juga. Ia berada di bawah bimbingan Ibu, jadi aku tak begitu mengikuti. Aku baru
akan masuk SMA ketika itu, sekitar 5-6 tahun lalu. Selama SMA, aku mulai paham
kemampuannya, terutama ketika aku mempelajari sendiri materi yang telah
dikuasainya sejak lama. Aku mengerti, dan aku tak lagi iri.
Tetap saja, aku tak yakin benar mengapa dia bisa mengerti
materi-materi ‘berat’ itu. Tak sekedar mengerti, tampaknya ia ringan dan asyik
saja mengerjakan soal-soal. Aku tak tahu pasti cara belajarnya, tapi Ibuku,
yang selalu mendampinginya, tahu.
Kay. Kesimpulan itu membuatku merasa perlu mendukung Ibu
berkenaan bukunya. Buku itu baru di-launching 8 Mei ini, berjudul “Melihat Dunia”, dan berisi segala hal yang tak aku ketahui
itu. Cara belajar Izzan dan perkembangannya dan lainnya. Ini dia:
Di antara orang-orang yang berpendapat, pasti ada yang
mengatakan, untuk apa anak sekecil itu diburu-buru masuk kuliah? Ada. Pasti
ada. Karena temanku pun ada yang mengatakannya. Atau, apakah dia dipaksa?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, jawaban yang lengkap
dan baik, maksudku, ada di latar belakang pendidikan Izzan. Belajar secara homeschool. Ia sempat tidak
naik kelas di TK. Sempat tidak bisa ikut UN karena terpentok batas umur. Satu
alasan dan lainnya, dan Ibu mengerti hal itu lebih baik.
Jawabanku: karena dia
mampu. Dia sudah menamatkan SMA, dia mampu menerima tantangan lebih, dan ia
sudah punya minat yang ingin ia dalami. Soal-soal SBMPTN yang sulit adalah
media untuk memotivasinya belajar lebih giat. Apakah ia dipaksa? Selama persiapan, aku ikut
mendampinginya, semacam supervisor (haha), dan kami belajar sedang-sedang saja.
Tidak swotting seperti dulu kasusku;
dari pagi sampai malam di tempat les intensif. Ia tak tampak kesulitan dengan ‘sedang-sedang
saja’ ini, santai-santai saja, dan tak perlu ada paksaan.
Maka, apabila Allah berkehendak, biarkan dia menjalani dunia
perkuliahan dan melihat lebih jauh batas kemampuannya. Jika tidak FMIPA ITB atau UI kali ini,
mungkin kali berikutnya, atau pada kesempatan lain. Jika tidak, berarti masih
ada yang bisa atau harus dilakukannya sementara itu.
Jadi, otsukare sama deshita! Selamat kepada semua pejuang
tulis SBMPTN 2016 yang telah melaksanakan tes.
Dan ya, Selamat Hari Tanpa Tembakau.
No comments:
Post a Comment