Sunday, December 11, 2016

Dondar dan Percaya

Terdorong oleh suatu alasan untuk menghapus status GNU, aku mendaftar dua unit pada Festival tahun ini. Salah satunya Korps Sukarela PMI (KSR) cabang ITB, yang tak begitu banyak diketahui keberadaannya (aku saja baru tahu). Sebagai salah satu rangkaian kaderisasi, calon anggota diminta membantu mengadakan donor darah yang terlaksana tanggal 24 November lalu di Labtek V.

Donor darah KSR selalu penuh dan ramai, meski KSRnya sendiri gaib eksistensinya di kampus. Ini karena kehadiran sponsor yang baik hati. Lihat saja event terakhir, ada iming-iming “Free flashdisk Sandisk 8 GB *untuk 200 pendonor pertama” padahal target kita kali ini memang 200 kantong darah.

Saking ramainya kami bahkan mulai 1,5 jam lebih awal dari jadwal

Aku hadir sebagai panitia, logistik/dokumentasi/pendaftaran. Acara ini sukses walau target tidak tercapai. Aku juga sukses karena mendonor tanpa pingsan (padahal tekanan darahku rendah, pernah sampai 90/60, dan sebelum mendonor harus lari keliling Labtek supaya tekanannya naik di atas ambang), pulang dengan flashdisk di tangan. Bahkan aku merasa lebih segar dari sebelumnya.

Jadi, dondar ini berakhir baik dengan 175 labu darah, 3 orang pingsan, dan 1 orang histeris.
Btw, yang histeris itu ketua KSR sekaligus teman sejurusanku, yang kebetulan fobia tapi menegar-negarkan diri menghadapi jarum. Aku juga sempat kena salah satu kejadian yang umum terjadi dalam donor darah.

“Mbak, mbak.” Seorang mas-mas memanggilku seusai mengambil bingkisan setelah donor.

“Ya?”

“Ada tissue atau lap nggak ya?”

“Wah, ada kayaknya. Kenapa mas?”

“Ini….”

Jalur-jalur merah mengalir turun pada lengannya, seperti anastomosing river. Darahnya mengucur lagi. Mas-mas ini dengan santainya minta lap, kukira dia mau mengelap teh yang tumpah. Kutahan pendarahannya dengan mitella yang memang sudah kusimpan di saku dan kubawa ia ke petugas PMI. Sepertinya malah aku yang panik.

Aku ceritakan ini pada seorang temanku.

“Kamu rugi, Nad.” Begitu komentarnya.

“Kalau kamu jual darahmu langsung ke orangnya, kamu bisa dapat sejuta, mungkin lebih.”

Dalam pikiranku, dasar Cina, perhitungan banget*. Aku katakan itu padanya, tapi dengan bahasa yang lebih halus. “Kaummu itu memang perhitungan ya. Kalau anggap sebagai charity, gimana?”

“Aku sih nggak masalah sebenarnya. Aku cuma nggak suka sama PMInya, sama politiknya.”

“Politik apa maksudmu? Berdasarkan orang PMI yang kutanya, pelayanan pasti sama untuk semua golongan.” Aku sempat bertanya, ketika sedang ditusuk, bagaimana jadinya pembagian kantong darah kalau misalnya RS A dan X sama-sama minta dan RS A lebih bonafid dari yang satunya.

“Kamu saja yang nggak tahu, Nad. Kalau orangnya berduit ya dilayani. Giliran orang miskin yang butuh, dibilangnya habis. Gitu.”

Ada jenis orang yang seperti ini, yang bisa dibilang terlalu mandiri untuk memercayai orang lain, atau mungkin memiliki sedikit spektrum paranoid. Contohnya temanku ini. Kalau soal agama, ia lebih percaya perbuatan baik daripada Tuhan. Kalau soal sedekah, dia tak percaya badan amal maupun pengemisnya itu sendiri (“Aku pernah liat pengemis yang di gerbang selatan itu, handphone-nya Samsung. Anj.”). Kalau soal nilai, dia kehilangan kepercayaan terhadapku.

Kata-katanya kubawa dalam saat-saat melamun di antara tugas besar. Sungguh tidak menyenangkan ketika sesuatu yang rasanya baik-baik saja kemudian direcoki kemungkinan yang… not favorable.
Perasaanku persis ketika aku mendengarkan salah satu lagu favoritku, Reflection dari film Mulan, di Youtube. Aku membaca komentar yang ada dan menemukan satu yang kira-kira seperti ini “This song really is meant for LGBTQ, to accept yourself and be proud of whoever you are.”

Boom. Satu kenangan indah telah ternodai oleh sebuah pikiran untuk selamanya.

Kembali lagi. Untuk aku yang (masih) cenderung memercayai orang, komentarnya hampir selalu terdengar sinis, pesimis, “menodai”. Apa salahnya, apa ruginya berprasangka baik? Butuh berkali-kali diperalat dan dijadikan kambing hitam sampai aku benar-benar terusik.

Well, ini juga nggak benar sih. Sulit sekali mencari batas abai, waspada, dan paranoid.

Tapi bukan itu sih poinnya. Yang satu itu butuh pemikiran dan pematangan yang lebih dalam lagi.

Aku hanya berpikir betapa sayangnya kalau tidak ada kepercayaan antara satu sama lain yang, secara langsung atau tidak, saling membutuhkan. Ini baru satu orang terhadap satu lembaga. Bagaimana dengan satu kota terhadap pemimpinnya, anak terhadap orangtuanya, satu ras terhadap ras lainnya yang tinggal sekampung, satu pemeluk terhadap pemeluk lainnya padahal agamanya sama.

It must be a bit inconvenient to always feel someone’s gonna stab you from the back.

And that’s how I start to feel nowadays, ever since THIS started.




*Bukan mengeneralisasi; meskipun rasis, dia mengakui kalau dia Chinese, dia mengakui dia memang sangat perhitungan. Siapa tahu ada yang triggered.

No comments:

Post a Comment