Wednesday, August 14, 2013

Mudik Tanpa Akhir


Satu mayat. Dua mayat.

Sepanjang hidupku, hanya ada tiga kematian yang berelasi dengan kecelakaan di jalan raya. Kematian yang terhubung langsung denganku, tentunya, sebab korban kematian di jalan raya sama banyaknya dengan rambut rontok; berpuluh sampai beratus setiap hari.

Hanya tiga. Pertama Oom-ku yang malang, terjatuh dari motor dan terlindas truk tronton. Beliau barangkali sedang senyum-senyum saja dari dunia lain, menontonku menulis ini. Aku tak pernah melihat jenazah beliau karena tak berani mengambil resiko dihantui. Dihantui kenangan buruk, sesosok jasad manusia yang hancur dilindas. Lagipula aku berada di Merapi ketika itu. Beberapa bulan sebelum ia meletus dan menewaskan (lagi-lagi kematian) Mbah Marijan.
Kedua, hanya beberapa hari lalu. Dua sosok berselubung kematian dan mencekam mereka yang masih hidup.
Biar kawanku yang pekerja keras ini menceritakan apa  yang diceritakannya kepadaku.
***

Aku suka melaju. Menyongsong dan meninggalkan jalur aspal, semen, tanah atau beton tiada ujung. Seperti saat ini, dari daerah terujung barat Pulau Jawa aku melesat menuju timur. 500 kilometer dalam 12 jam terakhir. Tumben.
Kami semua tiba di Cirebon tepat untuk sahur, tadi. Aku dan semua penumpangku. Sang supir, ayah dari si Nan yang mpunya blog ini, berhenti untuk berisitirahat sekaligus mendinginkan mesin. Tak lupa menambah air radiator. Segar rasanya.
Garis-garis cahaya telah tampak di ujung terluar awan-awan. Waktunya berangkat. Anak-anak, menghitung satu remaja riweuh, masih bangun dan berbincang sebelum akhirnya tidur lagi.
Hari beranjak siang, dan masih harus menempuh beberapa belas kilometer lagi untuk mencapai Pekalongan. Anak-anak sudah bangun, mulai mengobrol dan berdebat lagi.

Aku melaju. Di sisiku, melesat teman-temanku pula. Mereka berlari sesuai perilaku supir mereka. Dari yang patuh dan jadi panutan keselamatan berkendara sampai yang main salip. Mungkin supirnya kebelet.
Lalu di pinggir jalan ada dua mayat...
(Nan) Oi, oi! Masa langsung gitu sih?
Well, maumu gimana?
Itu kan klimaksnya! Dari latihan penulisan juga...
Mana aku tahu begituan! Aku mobil!
Tapi.. tapi...

Ya sudah, ceritalah sendiri!
***

Ehem.
Baiklah.
Kami tak jauh dari Kendal (pokoknya, sekitar 6 jam perjalanan dari Cirebon) ketika kudengar ibuku berseru, “Ada kecelakaan!”
Suara beliau lebih... tertekan dari biasanya. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terjaga. Kulihat beberapa polisi berseragam sibuk mengatur agar lalu lintas tak tersendat.
Sebuah sepeda motor terparkir di bahu jalan. Tak terlihat ada kerusakan parah. Setidaknya, begitulah pengamatanku selintas. Mungkin itu milik polisinya.
Ada setumpuk koran disebar di jalanan, agak ke bahu jalan. Aku tak bisa melihat jelas; haven’t got my glasses with me.

Dua sosok tergeletak di jalan. Keduanya telungkup di jalan, dengan kepala ditutupi koran.
Sebuah truk ditahan di pinggir jalan. Aku mafhum. Dan aku setuju dengan ibuku, seandainya kedua pengendara motor itu masih tertolong, mereka tidak akan dibiarkan terbaring seperti itu. Dengan posisi seperti itu.
Agaknya tumpukan koran dijalan ditaruh untuk menyembunyikan percikan darah. Oh, mungkin bukan percikan, tapi tumpahan.
Aku merinding.
***

Sering aku digoda ibuku, supaya kalau sudah dewasa nanti aku jadi dokter saja. Dulu aku menolak, karena aku tak tahan lihat banyak darah.
Kini aku menolak, karena merasa tak sanggup bertanggung jawab atas nyawa orang lain. Terlalu berat.
Pada sekian detik ketika mobil kami melewati polisi serta (apa yang kami yakini) jenazah-jenazah itu, aku merasakan semacam harapan bahwa aku ini dokter.
Dalam pikiranku, aku akan membuka jendela dan berkata pada polisi yang lewat, “Saya dokter. Korbannya sudah meninggal, pak?”

Jika belum tentunya aku akan diminta memberi pertolongan pertama.

Jika sudah, barangkali aku bisa menawarkan untuk memberikan kepastian atau visum awal. Siapa tahu keluarga korban ada yang merasa tak puas, atau merasa korban sebenarnya masih bisa diselamatkan.

Tapi toh, ini hanya khayalan.

Tapi benar. Dokter adalah profesi yang bisa mendatangkan banyak pahala, setara dengan resiko dan tanggung jawabnya.

Kalau takut bekerja dengan taruhan jiwa, mungkin profesi dokter forensik dapat dipertimbangkan. Toh pasiennya semua sudah tak bernyawa.

 Tapi... bukankah banyak orang mati dalam kondisi yang aneh-aneh?

***
Esok atau lusanya, aku mendengar bahwa kedua pengendara itu memang tewas. Tapi adalah Ibuku yang mengkonfirmasinya lewat berita baris di televisi. Maka aku coba mencari berita secara online:

www.suaramerdeka.com
www.suarapembaruan.com
“Lokasi kecelakaan adalahJalan Arteri Lingkar Kliwungu, sekitar pukul 12.00. Kedua korban yang mudik berboncengan dengan sepeda motor tewas seketika terabrak truk box.”

Bak semua kematian yang ada di Final Destination, kita tak pernah tahu kapan akhir kehidupan kita. Bukankah begitu?

No comments:

Post a Comment