Sunday, February 24, 2013

Misteri Hilangnya Buku Absen :: part 2

Hujan mulai turun. Langit sekelam dan sekelabu wajah Bella, yang masih berbekas air mata. Kami berpindah tempat ke depan ruang guru. Tinggal lebih dari setengah jam lagi. Penentuan itu.


"Masalahnya," kataku pelan pada Jo, "kita kekurangan kesaksian. Sore atau pagi, pasti sepi. Seandainya diambil sore, sampai jam 5 pun pintu-pintu kelas belum dikunci. Aku tahu pasti, karena kemarin aku balik lagi ke sekolah setelah ke masjid dan nulis laporan di tempat fotokopi."
"Ya," angguk Joan. "Tambah lagi kemarin hujan. Seandainya ada yang pura-pura pergi lalu kembali lagi, lalu terlihat orang, tak akan ada yang curiga. Banyak yang masih berteduh di sekolah. Sialnya, daerah kelasku dan Bella itu daerah sepi. Tak ada yang lihat ada yang masuk atau tidak. Akh, coba aja aku jenguk kelasnya Bella kemarin!"

That's right. Kelas satu keseluruh ruangannya berada di tingkat dua, membentuk huruf L. Kelasku dan kelas Bella berada di ujung 'L' yang berbeda, sedangkan kelas Joan berada di sebelah kelas Bella.

Aku berdiri lalu beranjak. Aku ingin ke TKP, begitu kataku pada Joan yang bertanya. Aku menaiki tangga, menuju kelas Bella, menghampiri meja guru dan memeriksa. Nihil. Tentu saja! Ini tempat pertama yang mereka periksa. Aku teliti rak gantung di sudut kelas. Lemari.

"Percuma." Terdengar suara Joan dari pintu. "Kelas ini sudah kami geledah, lho. Apa lagi yang bisa dicari?"
"Barangkali saja.. barangkali ada petunjuk, Jo." Lalu setengah bercanda, aku berkata, "Misalnya sidik jari... rak ini lumayan berdebu... atau helaian rambut.. atau ceceran yang bisa diperiksa DNA-nya.."
"Ini kelas, Nad. Siapapun keluar masuk dengan bebas di sini. Pemulung juga. Lagian kalau kau memang dapat sisa DNA, mau diperiksakan di mana? Kau punya kenalan orang Labkrim?"

Perjalanan ke bawah kami habiskan sambil saling cerita tentang mengumpulkan sidik jari, atau keterangan dari saksi mata. Sungguh menyenangkan, bisa main detektif-detektifkan seperti ini tanpa ada yang mencemooh.

Di bawah, masih menunggu Bella dengan sikap layaknya martir siap menghadapi perang mati-hidup. Tapi matanya pasrah.

"Kau kenal siapa-siapa saja teman-temannya si A? Dari kelasmu dan kelas lainnya juga? Mungkin ada yang bisa ditanyai."
Bella menggeleng. "Ditanyai apa, memangnya? 'Hei, kamu ngambil buku absen kelas supaya bisa melindungi A, gak?' Gitu?"

Lebih sedikit dari 15 menit lagi.

"Seberapa banyak ya kemungkinan buku itu disembunyikan dan masih ada di sekolah?" Aku berkhayal bisa memanggil buku itu dengan mantra 'Accio'.
"Sebanyak rambut di kepala Pak Satpam Plontos."
"Kalau aku jadi yang ngambil dan nggak ingin buku itu ditemukan lagi," kata Bella tanpa tenaga, "pasti sudah kubuang jauh-jauh."
"Yep. Gampang memusnahkan buku itu. Dibuang ke jalan, asal nggak ada yang nemu, pasti raib juga."

Rapat selesai lebih cepat dari yang diharapkan, dan Pak W sudah terlihat mukanya dari celah pintu. Expecting us.

Tak banyak yang bisa kita lakukan kecuali menemani Bella menghadap. Ia akan lebih lunak kalau dikelilingi begitu banyak anak cewek yang BISA bertampang innocent.

------------

Besoknya, Joan sukses membuatku jadi patung hanya dengan satu kabar.

"Nad, katanya buku absennya udah ketemu."

Rupanya, seorang anak sekelas Bella mungkin sudah menyerahkannya pada guru Praktik Kerja Lapangan yang bertugas mengambil buku absen tiap kelas. Tanpa memberitahu Bella. Dan entah bagaimana tak bersaksi ketika Bella dan Joan bertanya-tanya.

BUT! Bahwa buku itu sudah diterima BK, adalah kemungkinan pertama yang kami pikirkan. Dan kami eliminasi begitu saja, tanpa ada pembuktian lebih lanjut.

Jadi mungkin beginilah orang-orang kerap menyia-nyiakan kesempatan. Mereka sudah tahu, tapi mereka pikir itu mustahil. Mencapnya tak mungkin tanpa mencoba. Dan inilah yang terjadi pada "kasus" (kini pakai tanda kutip) kami.

Ada satu hal yang sama-sama sesalkan: Bahwa kami BUKAN titisan Sherlock Holmes. Bahkan kurang teliti untuk memecahkan "kasus" (pakai tanda kutip lagi) ecek-ecek begini. Bahkan harus meribetkan diri dengan segala pemikiran kemungkinan. Kasihan Sherly, punya penggemar seperti ini.

No comments:

Post a Comment