Kelas, koridor, dan lapangan sudah lebih kosong dari biasanya. Maklumlah, kebanyakan anak ingin memanfaatkan waktu sekolah yang dibubarkan lebih awal. Langsung balik kanan putar jalan, kabur dari sekolah begitu pengumuman adanya rapat guru.
Aku pergi ke kantin yang juga sudah kosong, sekedar membeli air minum. Di warung ujung, kulihat Joan, Bella, dan beberapa anak cewek lainnya yang nggak usah disebutkan karena nggak berkepentingan (evil mode).
Ceritanya di-pause dulu. Mari kita lihat CV (hoh?) pelaku-pelaku dalam kasus ini.
Joanita namanya. Kepribadiannya cocok denganku. Kuat, mandiri, tegas. Sama cocoknya dengan kebanyakan cowok2 dengan siapa aku bisa ngobrol, main gitar, dan kadang pulang bareng (habis cewek2 kadang jalannya too damn slow). Memang kawananku tak akan jauh-jauh dari anak KIR, anak PA, anak pramuka atau anak Japanese Club. Don't take me wrong karena jalan sama cowok, bentuk plural tak pernah singular. I simply can't understand girl talks. Joan juga. Kalau Jo ini, aku kenal baik dari Klub Debat. Prediksiku, ia akan jadi wanita yang bisa diandalkan sekaligus pengertian dan objektif di lain sisi. Gamers handal juga, mungkin.
Kalau Bella, bagaikan litosfer dan atmosfer bedanya. I never really understand her. Dan menurutku ia masih dalam tahap remaja labil dimana hatinya kerap tenggelam dalam kegalauan pada kakak kelas. Dia juga belum seobjektif dan sedewasa Jo.
Dan gadis-gadis lain... udahlah, kan sudah kubilang mereka nggak banyak peran dalam kasus ini.. dan tak akan pernah (ngakak jahanam).
POKOKNYA, kasus Buku Absen Yang Menghilang ini mendaratkan Bella sebagai korban
Di kantin itu, di pagi menjelang siang yang cerah dan enak dipakai santai itu, aku berpapasan dengan Bella. Wajahnya kusut, tampak lebih galau dari biasanya. Ia duduk di salah satu kursi kantin dan dikelilingi beberapa cewek lain termasuk Joan. Kutanya:
"Kenapa? Ditolak sama ****? Apa gara-gara SMSnya nggak dibalas?"
Jo menggeleng. "Urusan sama Wakesis". WHAT? Pak Kesiswaan yang dirumorkan lebih kejam sabetannya dari Wolverine kalau lagi kumat? Tidak!
Julukan Wolverine bukannya melekat tanpa alasan. Konon, ia pernah mencabik-cabik celana seorang siswa kelas 10 karena menurutnya terlalu ketat. Padahal, celana itu kelihatan ketat gara-gara di-double dengan celana olahraga.
"Aku beli air dulu. Ntar cerita ya." Aku beranjak, menyelesaikan transaksi, langsung kembali. Tapi cerita harus diserobot dengan CV Pak Wolverine.
Nama: nggak boleh ditulis. Kalau ketahuan mati aku.Hobi :
- Menyebarkan ketakutan dan kemalasan akan hukuman biar dihormati.
- Membuat orang lain merasa salah padalah tuduhannya tidak tepat.
- Paling suka razia apalagi kalau dapat mangsa.
Keahlian:
- Level menengah mendapatkan posisi di sekolah.
- Sertifikat paling tinggi dalam menemukan dan melancarkan hukuman.
- Level advanced mengembalikan kewibawaan apabila salah menerkam.
- Bakat khusus mendapat rasa benci hanya dengan muncul di tengah lingkungan sekolah.
TTL: peduli amat. Nggak ada yang niat ngasih kado.Alamat: entah, Nggak ada yang minat jenguk kalau beliau sakit. Syukuran di sekolah iya.Kontak: Entah. Satu-satunya kontak yang bisa dan mau dilakukan adalah di ruang guru atau ruang BK; itu pun kalau terpaksa.
Biodata tadi harus dibuat selebay tapi seakurat mungkin, kalau tidak aku bisa digoreng. Sekedar menunjukan solidaritas sesama murid salah terkam. Tapi sungguh, semisal Yang Di Atas menggariskan aku jadi guru, semoga jangan sampai ada yang membenciku sedemikian rupa.
Nah, oleh karena itu siapapun pasti simpati apabila ada temannya yang harus punya urusan dengan Pak W(olverine). Apalagi anak berhati lembut and delicate like Bella.
"Ada apa?" aku kembali.
"Buku absen kelasnya hilang LAGI," jawab Joan. "Padahal yang pertama baru hilang minggu lalu. Bella disuruh menghadap Pak W setelah rapat guru."
Bella mulai sesegukan. Setakut itukah?
Aku meilirik layar ponsel. Masih dua jam lagi - atau tinggal dua jam lagi bagi Bella, mungkin.
Ini bukan cuma soal hukuman. Tapi juga harga diri. Bukan hanya namanya bakal tercoreng bagi Pak W, tapi juga tercoreng bagi guru manapun yang diceritai olehnya. Belum lagi dendam tak terbalaskan yang berjangkar di hati, sebab buku itu tak akan hilang kecuali ada yang sengaja menghilangkannya.
"Coba ceritakan kejadiannya. Kapan hilangnya?" tanyaku.
"Tadi pagi..."
"... ketika buku diminta BK, baru ketahuan nggak ada," potong Joan. "Buku itu ditaruh di kelas sebelum Bella pulang. Berarti kemungkinan diambil kemarin sore atau tadi pagi."
"Kapan kau pulang dan di mana kauletakkan buku itu, Bell?" tanyaku lagi.
"Kemarin aku pulang sekitar setengah jam setelah yang lain pulang, karena aku nunggu biar agak sepi dulu. Bukunya kutaruh di laci meja guru."
"Lacinya berkunci?"
"Enggak. Lacinya rusak." Lagi-lagi aku mengeluhkan, dalam hati, fasilitas sekolah yang dibawah standar.
"Ada siapa saja di kelasmu saat kau pulang?"
"Tinggal seorang. Tapi dia juga siap-siap mau pulang."
"Enggak mungkin dia yang ngambil?"
Bella hanya angkat bahu.
"Kau tahu sesuatu?" aku berpaling ke Joan.
Joan juga angkat bahu. "Aku baru tahu tadi siang. Malah aku bantu Bella tanya-tanya kemana-mana; ke guru-guru, siapa tahu bukunya terbawa. Ke tukang bersih-bersih, yang harus dicari-cari dulu. Bahkan ke satpam yang tugas kemarin."
"Teman-temanku yang juga tahu," kata Bella, "tapi nggak ada yang mau ikut tanggung jawab. Cuma Joan yang mau bantu. Kenapa sih mereka? Kalau beneran hilang, bisa-bisa semua kelas yang kena hukum. Walau aku yang tanggung jawab, ini kan menyangkut mereka juga." Bella terlihat kecewa, sedih, dan jengkel sekaligus.
"Kau yakin belum di ambil BK?"
"Kalau diambil pasti mintanya ke aku. Aku kan seksi absensi."
Aku berpikir sebentar.
"Mungkin nggak ini cuma iseng aja?" kataku setengah pada diri sendiri.
"Kayaknya bukan," kata Joan. "Kalau iseng, kenapa harus sengaja pulang sore atau datang pagi-pagi untuk nyembunyiin? Menurutku, alasannya lebih serius dari sekedar iseng."
"Buku yang pertama," kataku, "hilang juga, bukan? Pernah ada penampakannya lagi nggak, tuh buku?"
"Nggak," Joan kelihatan serius. "Makannya kayaknya yang ini juga nggak bakal balik." Bella makin kalut. "Lagipula kalau sekedar iseng, biasanya bakal dikembaliin kan? Entah beberapa jam pelajaran atau beberapa hari kemudian. Karena kalau hilang, meski yang tanggung jawab Bella, bisa-bisa mereka kena. Kurang kerjaan banget cari-cari masalah. Pasti ada tujuannya."
Aku mengangguk setuju. "Setelah ada buku yang kedua, pasti pembuat onar - kalau ini memang perbuatan iseng - sadar bahwa nggak ada gunanya menghilangkan buku absen."
"Ya. It goes the same way, if this case is a handy work of a hater. Ada yang ga suka sama kamu, nggak Bell? Sampai ingin menyusahkanmu?"
Bella menggeleng. Memang ia kurang cocok dan kurang akur dengan classmates-nya, tapi sampai menghilangkan barang itu sudah (Bang Haji mode) ter-laa-luu. "Menurutku, kalau memang kasus ini berlandaskan benci, yang bakal jadi korban pasti barang-barang pribadi Bella. Tas, alat tulis. Bukan buku absen yang milik bersama. Salah-salah, dia sendiri yang kena."
Diam lagi.
"Siapa kira-kira yang bakal dirugikan sama buku itu dengan catatan cuma seminggu?" Aku dan Jo berpaling ke Bella.
"Ada yang sering ga masuk, ga?" tambah Joan. "Catatan itu kan masuk ke raport."
Bella mengangguk. "Ada si A. Dalam 2 minggu paling dia cuma masuk berapa kali. Itu pun jarang full time."
"Ada yang kayak gitu?" aku kaget. Soalnya aku dibesarkan dalam lingkungan baik-baik *bata
"Bisa saja dia pelakunya," kata Joan. "Dengan asumsi dia juga yang ngambil buku pertama, bisa saja dia khawatir bakal ada banyak catatan bolos di raportnya. Sekarang kan udah dekat ke akhir semester. Ketika buku absen kedua muncul, dia ketakutan. Diambil juga deh itu buku. Bodoh. Mungkin dia nggak tahu kalau ada catatan absensi di guru juga. Kemarin si A masuk, nggak?" Bella menggeleng.
"Yang punya otak mungkin si A. Tapi yang ngambil bukan harus dia. Apa si A punya banyak teman di kelas? Maksudku, dia anaknya supel, gitu?" tanyaku.
Kenyataannya, si A memang cukup populer dan temannya . Bukan tidak mungkin dia punya tangan kaki di sekolah.
"Dan seandainya si A pelakunya, nggak perlu teman kelasnya yang disuruh ngambil. Kalau sudah sepi, dan pintu belum dikunci, siapapun bisa masuk dan ngambil buku absen itu," kata Joan dengan nada tegasnya.
"Dan nggak perlu temannya juga, sih," kataku. "Dengan imbalan duit atau bahkan rokok pasti ada yang mau juga. Akh, bingung aku!"
Tiba-tiba ponsel Bella berdering. Ibunya menelepon, dan mengalir lagilah air matanya ketika menceritakan kejadian itu. Sudah satu jam berlalu, sejak kami duduk di sini, dan belum ada titik terang. Sungguh besar keinginanku untuk menemukan buku itu. Dan membatalkan sepetan apapun dari Pak W untuk Bella. Tapi mungkinkah?
-----------------------------------------------------------
to be continued... (halah)
So this is school.. hahahah
ReplyDeleteTHIS is how I enjoy it; most of the schooldays are suck.
ReplyDelete