... Namun Semuanya Berubah Ketika PACAR Menyerang...
PACAR itu yang disebabkan inveksi virus Varicella zoster, yang membuat kulit dipenuhi bintik merah gatal bernanah ya? Oh, bukan.. itu sih CACAR. Cacar air lebih tepatnya.
Atau itu adalah gejala kekurangan gula darah, sehingga otak mengirim sinyal pada perut untuk mulai bergerung-gerung kayak Harley? Oh, itu sih LAPAR.
Oh, ya.. PACAR itu kan jenis pewarna kuku yang setelah jadi, warnanya jadi oranye cerah... Nah, ini baru benar. Tapi yang aku bahas kini, memang benar-benar pacar yang bakal terlintas pertama kali di kepala kebanyakan anak muda, ketika kubilang "pacar".
Tidak, tidak akan ada pembahasan benar atau salah sekarang, boleh atau tidak. Aku sudah cukup berdebat dan berdiskusi soal itu, dan benar-benar melelahkan. Seperti kebanyakan remaja awal lainnya, aku pun tahulah perasaan-perasaan yang mungkin muncul. Puppy love, first love, crush, whatever they call it. Dan aku pun mengerti benar perasaan seperti itu really hard to resist, apalagi kalau berbalas. Maka terjadilah yang namanya PACARAN itu (aku nggak tahu mengapa harus di-caps lock terus).
Toh anak-anak.. eh, remaja-remaja notabenenya sudah pada balig, biarkan saja mereka mempertanggungjawabkan perbuatan mereka sendiri. Namun aku diingatkan lagi, tentang perumpamaan kapal penuh berisi penumpang yang bakal tenggelam hanya karena salah satu penumpang dibiarkan melubangi lantai kapal di kamarnya. Berdalih, itu adalah urusan dia dan penumpang lain tak perlulah ambil pusing. Bukankah fenomena ini juga sedang terjadi, ya?
Ya, memang terjadi jika selamanya dan semuanya pengaruh yang berasal dari pacar itu buruk. Sekali lagi, tanpa ingin menghakimi, aku ingin menulis beberapa kasus HENSHIN!-nya orang-orang akibat belahan-hati-yang-belum-tentu-bertahan-sampai-jenjang-pernikahan-dan-merupakan-bagian-dari-pengalaman-masa-muda. Sesuai dengan judul post ini.
Kasus #1:
Aku tak tahu butuh berapa banyak pengalaman broken heart lagi supaya Bela (bukan nama sebenarnya) bisa belajar untuk 'slow' sedikit jika memutuskan untuk mengikat hati dengan tali yang nggak mulia-mulia amat dalam konteks ini: pacaran. Sudah nggak bisa konsentrasi belajar lagi, pusing di tengah pelajaran, nangis lagi dan lagi ketika membaca satu pesan di BBMnya. Dia jenis cewek yang,meskipun nggak terhitung cantik, cukup perhatian dan manja. Ditambah lagi, kalau dia sedang tidak sibuk dengan dirinya sendiri, dia juga baik hati dan setia kawan.
Rasanya baru beberapa bulan lalu dia pacaran dengan kakak kelas yang BUKAN biasanya dicurhatin karena kepadanya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Bukan, tapi dengan kakak lain yang beru dikenalnya beberapa minggu. Seminggu kemudian dia nangis, karena diputusin dengan alasan sang kakak belum bisa move on dari sang mantan. "Kenapa aku dijadiin pelarian sih? Tega!" kata si Bela.
Akhir-akhir ini terulang lagi. Dia datang ke kelasku seusai sekolah untuk mencari temannya, dengan berurai air mata. Rasanya seperti menonton film yang di-replay, sebab kejadiannya sama persis.
Dan yang mengagetkan, di antara dua kasus yang jaraknya beberapa bulan itu, ternyata masih ada satu kasus SERUPA yang tak kuketahui. Kejadiannya sama persis, pula.
Tidak, Bela bukan semacam playgirl atau apalah, yang gonta-ganti pacar hanya karena bosan. Dia yang jadi korban. Tapi yang kupermasalahkan disini, is her willingness to do it without much thinking. Ia bagai mendambakan cinta, tapi tak terlalu mengerti cara mendapatkannya atau bahkan apa definisi cinta sejati itu sendiri. Ia mengandalkan trial and error. Atau ia sedang mencari 'pengangkatan derajat' dengan pergantian status sebagai 'berpacaran'.
Namun apakah KESEMPATAN semacam itu setimpal untuk sakit hati, air mata, waktu yang terbuang, dan pelajaran yang dikesampingkan itu? Berupa pengangkatan derajat dalam pergaulan sosial? Poin pertama.
Kasus #2:
"Awalnya aku aneh, kenapa dia bisa suka ke aku," Rina bercerita tentang mantannya sewaktu SMP, Felix (felicis?).. dua-duanya masih nama samaran. "Aku kan diitungnya pendiem, bageur. Lha dia berandal; suka mabal, suka bolos, urakan, ga pernah belajar. Tapi sejak sama aku dia makin lama makin baik, mungkin demi aku juga... karena, sedikit banyak aku yang minta supaya dia berubah. Walau nggak kaya pacaran juga sih, cuma temenan tapi saling ngasih perhatian lebih.
"Makannya aku nyesel waktu harus putus. Dia jadi bandel lagi, nggak tahu kenapa. Padahal aku tahu jauh di dalam dia tuh baik...."
Rina memang semacam pembawa kegembiraan. Polos, lucu, lugu ngegemesin. Dia juga punya kemampuan untuk selalu disukai orang, meskipun bukan lewat faktor fisik. Jangankan marah, untuk merasa kurang suka padanya pun sepertinya mustahil. Meskipun imut-imut dan innocent looking, dia bisa diandalkan dan dapat dipercaya. Rina yang berjilbab dan pintar menggambar manga.
Karena itu aku percaya ia bisa 'memaksa' seseorang yang menyukainya untuk meninggalkan kebiasaan buruknya, meskipun itu berarti celaan dari geng-nya. Nah, apakah hubungan seperti ini bisa diterima? Poin dua.
Kasus #3:
Sophie dan aku adalah soul-sista. Well, we were. Sejak dulu, sejak masih TK, kami sudah kompakan. Lalu ketika aku putus sekolah sewaktu SD, kita masih sering saling berkunjung dan bersepeda bersama, secara rumah kami berdekatan. Ialah yang membawa segala pengalaman dan kehidupan bersekolah kepadaku.
Namun ia berubah. Ya, sangat berubah. Mungkin karena ia berubah dan aku tidak terlalu berubah, sehingga relatif terhadapku ya ia berubah. And finally, when she was in 7th grade, our friendship came to the most abrupt end. Seiring berkurangnya frekuensi bertemu pada saat itu, semakin sedikit pula aku mengenal dirinya. Ia melepas hijabnya. Ia lebih suka hanging out dengan teman-temannya, dan jarang ada di rumah jika aku berkunjung sore-sore. Kami semakin menjauh, terutama ketika ia mulai berpacaran. Aku yang masih greenhorn di dunia macam ini, terkaget-kaget sendiri. Dan, karena kesalahan berkata-kata, terjadilah perpisahan itu.
Sungguh aku hanya ingin menggodanya sedikit. Mungkin terdengar menyengat karena berlandaskan sakit hati... bla bla bla, begitulah. Sedikit salah paham dan sedikit sakit hati. Apakah benar perubahan yang tak dapat kita ikuti akan mengakibatkan putusnya persahabatan? Worth it, kah? Poin tiga. Mungkin ini jenis pertemanan yang akhirnya kalah oleh perubahan lingkungan.
Kisah ini kutulis untuk suatu tugas dalam Bahasa Indonesia. Cerpen berdasarkan pengalaman ini. Dan menghasilkan nilai A+ untuk ide.
Kasus #4:
Kumpulan kasus-kasus kecil. Silakan dilewat.
Aku akhirnya terbiasa. Bahkan guru-guru pun juga... walau hanya guru yang begitu pengertian seperti guru Matematika. Terbiasa dengan cewek-cewek yang semakin lebay jika sudah menyangkut kakak kelas pilihannya. Jangankan pada saat istirahat atau jam kosong; pada saat pelajaranpun mereka akan berlari keluar kelas demi melihat sang idola bermain di lapangan.
Kini terjadi lagi, stadium pertama kejadian Sophie. Mungkin sejak saat itulah, setiap ada temanku yang mulai berpacaran aku merasa kehilangan... seakan yang bersangkutan meninggal (kok tragis ya). Aku agak trauma. Karena seperti pepatah, semakin lama mereka akan merasa dunia cuma milik berdua. Mengapa, mengapa mereka harus begitu serius dan sadar tidak sadar menarik diri dari orang lain?
Ini cukup dilematis. Kebanyakan teman pulang, teman main dan teman diskusiku adalah cowok. Entah mengapa aku tak cukup peka untuk berteman dengan banyak cewek. I just can't understand them. Nah, karena inilah aku selalu jadi yang pertama 'ditinggalkan' jika salah satu dari mereka, the guys, punya pacar. Sebab, perempuan yang dihatinya pure tidak ada rasa cemburu sama banyaknya dengan uban di kepalaku, alias tidak ada.
Dan cukup mengejutkan, the boys ternyata berubah!
Bayangan si pendiam dan pemalu Ahmad yang bahkan tak pernah memandang lawan bicara yang perempuan, berubah menjadi ababil tingkat menengah... it sends shivers down my spine. Why, timeline facebooknya yang palingan diisi satu-dua status tentang anime atau game, tiba-tiba mulai dibanjiri curhatan-curhatan nggak jelas. "Hari ini jadi indah", "Sebenarnya aku nggak mau marah; ini demi kebaikan kita berdua", "Hari ini aku dicuekin -_-".
Maksudku, para remaja ini sudah berubah sekali. Jika salah seorang cewek ngeceng seseorang, tak lama kemudian seisi kelas pasti tahu... terlebih karena sang cewek tak malu-malu mengutarakannya. Asal memasang telinga pasti kabarnya terdengar juga.
Pengalamanku sendiri, aku pernah dikonfrontasi seseorang. Apa yang dipercakapkan pasti membuat mukaku merah; walau tampaknya mustahil sebab kulitku sudah makin gelap sejak sering main basket. Tapi itu kisah lama, dan tak ada lagi yang tahu.
Dari poin satu, dua dan tiga... kesimpulanku hanya satu. Terjadi suatu perubahan, yang efek negatif atau positifnya relatif terhadap bagaimana cara memandangnya. Perubahan yang dari setiap sisi membawa rasa senang sekaligus rasa sakit hati. Tanyaku, perlukah perubahan seperti itu? Perlukah penyebab perubahan itu terjadi? Mengapa mereka yang berubah semakin sulit dimengerti? Beberapa bahkan tak mau berteman lagi!
Pacaran itu.. asem. Pacar biasanya dikonsumsi dengan nasi goreng, gulai. *Itu ACAR!*
ReplyDeleteWell, yeah. Thing's are always complicated about these things. I felt the same way. I second your whole argument.
AAAND YES. It's damn hard to resist. I barely escaped something like that before..
We are talking one same person here http://akhyarkamili.blogspot.com/2013/04/Teen-Problems.html
Lol.
Delete"Barely escaped"? Is that even possible to happened to you? Well I never!
I've been thinking about her much lately. Think it's time to be friends again. Or maybe I just missed her.