In the memory of Steve Irwin
Setiap orang, ya, setiap orang, pasti memungut sesuatu di
setiap jalan kehidupannya dan menjadikan 'sesuatu' itu bagian dari dirinya.
Seperti mengumpulkan keping-keping berwarna untuk membentuk suatu mozaik. Seperti menjahitkan carikan-carikan perca
untuk membuat satu arpillera yang sernpurna.
(sebagian tulisan ini diambil dari catatan lama, bertanggal 24
Mei 2011)
Aku diingatkan oleh komentar-komentar serta pandangan tak biasa anak-anak sebaya di sekelilingku. Seperti, “Ih, beranian ih!” atau “Nggak jijik, Nad?” atau lainnya, saat aku membantu menyingkirkan hewan pengganggu (menurut mereka) dengan tangan langsung; entah itu katak, kodok, ulat, laba-laba, serangga, atau burung kecil. Salah satu contoh nyata mungkin sewaktu pelatihan di barak militer di Cikole semester lalu... waktu itu, tiba-tiba ada katak hijau berlendir menyambangi tempat outbound dan membuat para cewek menjerit berjamaah. Para cowok berusaha menanganinya, dengan kasar mendorong-dorong si katak kecil dengan sebatang kayu. Reflek karena kasihan, langsung kuambil saja si katak dengan kedua tangan sambil membela hak-haknya sebagai makhluk hidup. Sejak itu, kebanyakan anak mengenaliku sebagai “yang ngambil katak di Belanegara itu, ya?”
Jadi, jangan harap ancaman seperti “ntar dilempar ulat/uler
lho!” bakal mempan padaku. Dan karenanya, dari SD di Sekolah Alam sampai
sekarang, tak ada yang benar-benar berhasil mengancam atau menjahiliku.
Tentu tak sedikit pula anak yang lebih 'berani' dariku. Tapi
mungkin bisa dibilang, kebanyakan orang yang tinggal di kota mengidap entah
fobia serangga, fobia ular, atau keduanya. Sayang sekali. Sedikit banyak aku
telah menjadi pelaku penyimpangan sosial– meminjam istilah Sosiologi.
Pokoknya, setelah aku bisa mengingat-ingat lagi, ada satu faktor kuat yang
membentuk kepribadian ini. Faktor itu adalah salah satu keping mozaik-ku,
carikan perca-ku yang paling berharga dan berukirkan: Steve Irwin
Di mata kebanyakan remaja sekarang ini, mungkin Steve Irwin
hanyalah pembawa acara petualangan biasa. Atau mungkin mereka malah akan
bertanya, “Siapa tuh?”. Mengingat ia sudah meninggal sejak aku masih SD, bisa
jadi tak banyak remaja yang masih mengingatnya.
Tapi di mataku, ia adalah salah satu orang pertama yang membukakan
indahnya dunia liar luar kepadaku. Salah satu orang paling berjasa. Ia truly
and surely salah satu agen sosialisasi-ku (meminjam istilah Sosiologi
lagi); orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan pribadi. Aku lebih
mendengarkan penjelasannya tentang ular (hewan yang hingga kini sangat kusukai)
daripada ancaman pembantu/pengasuhku sewaktu kecil. Aku selalu berpendapat,
ketakutan berlebihan pada hewan tertentu disebabkan oleh kata-kata beracun
pembantu... aku tahu, aku lihat sendiri, kadang mereka menakut-nakuti anak
kecil tanpa dasar hanya supaya mereka mau duduk manis dan tidak berkelana
kemana-mana.
Menyalahi kodrat anak-anak – seorang peneliti alami.
Aku mengagumi pria kelahiran Australia ini. Sangat. Ia
yang memberikan sisi lain untuk dipandang tentang dunia yang menurut 'orang
kota'... yah, katakanlah, primitif. Sisi lain yang lebih terbuka untuk
merenungkan betapa ajaibnya ciptaan-Nya. Dan sudahkah aku menulis betapa pemberaninya ia..?
"I have no fear of losing my life - if I have to save a koala or a crocodile or a kangaroo or a snake, mate, I will save it."
-Steve Irwin
Ketika kenangan mulai berputar bagai bola salju, maka semakin
lama dipikirkan makin besar dan jelas bentuknya. Aku ingat, dulu satu-satunya
channel TV yang kutonton adalah Lativi, yang menyiarkan begitu banyak film
dokumenter. Ketika aku lihat kembali saat itu, aku cuma lihat diriku sendiri
sedang makan siang bersama singa di TV. Aku makan telur ceplok, dan singa
mencabik-cabik daging zebra yang darahnya masih hangat, di tengah savana di
Afrika.
Dan, aku masih ingat dua pembawa acara yang sangat kusenangi
dulu. Pertama Steve, tentu saja. Ia membawakan berbagai acara, dan kadang
istrinya yang cantik, Terri, turut serta. Kedua, seorang pria ramah
berwajah merah brewokan dengan mata bersinar cerdik dan spesialisasi buaya. Rob
Bredel, sang pembawa acara Crocodile Hunter,
seingatku. Ialah yang menjelma menjadi sosok Sam Hawkens kalau aku membaca
kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou. Bedanya, kalau Sam gemarnya
menaklukan bison maka kerjaan Rob adalah mengejar-ngejar buaya. Tak banyak berbeda dari Steve. Dan katanya:
“Crocodiles are easy. They try to kill and eat you. People are harder. Sometimes they pretend to be your friend first.”
-Steve Irwin
Jadi, ketika teman-temanku sedang senang-senangnya menonton
Sponge Bob Square Pants, aku terkesima melihat Steve beraksi berusaha
mengamankan rumah penduduk dari seekor black mamba, ular yang konon paling
mematikan sedunia melebihi king cobra. Atau, bergulat dalam lumpur di rawa
untuk menaklukan seekor sanca sebesar betis. Atau, aku akan menyimak Rob
mengayun-ayunkan tongkat dengan jerat dan umpan, berusaha menguasai seekor
buaya raksasa yang akan dipindahkan dari kandangnya.
Aku masih senang menonton film kartun, tentu saja. Tapi
Sponge Bob tak pernah berhasil membuatku seterkesima itu.
Bagaimanapun, hubunganku dan Steve 'putus' ketika Lativi
beralih nama, sepertinya karena beralih kepemilikan. Channel baru ini tak
pernah lagi menampilkan film dokumenter; tidak sesering dulu. Aku menyesal
channel sebagus ini harus berubah, tapi mungkin minat masyarakatlah yang
menentukan. Orang-orang Indonesia tampaknya menaruh lebih sedikit minat
terhadap kehidupan hewan liar dan lebih banyak terhadap sinetron serta berita.
Sering aku bertanya, mengapa tak ada channel di sini yang persis seperti
Discovery Channel atau Animal Planet atau National Geography? Bah, aku 'kan tak
akan bisa menonton channel-channel itu tanpa sambungan kabel.
Suatu pagi, pertengahan September 2006, aku sedang sarapan
sambil menunggui orangtuaku selesai membaca koran. Oh ya, aku membaca koran
sejak kelas tiga atau empat SD. Sasaranku tidak banyak sih ketika itu, hanya
halaman IPTEK dan rubrik kecil berisi berita unik/lucu/tak biasa dari seputar
globe - Kilas Kawat Sedunia. Aku sedang menghabiskan sarapanku ketika kudengar
ibuku berkata, "Kakak, Steve Irwin meninggal!"
Aku tak percaya! Atau tepatnya, tak mau. Kurebut koran itu dan
kusimak beritanya. Steve Irwin meninggal karena kelumpuhan tak tertolong saat
sedang snorkelling di Great Barrier Reef di Queensland. Penyebabnya adalah
sengatan ekor seekor pari manta. Sebentar, apa yang dulu dikatakan Steve
tentang ikan pari..?
“Aku berharap suatu saat bisa mati karena hewan ini."
Tubuhku melemas. Tidak, aku tidak menangis. Tapi ini pertama
kalinya dalam hidupku, yang baru 8 tahun berlalu saat itu, aku begitu bersedih
untuk seseorang yang bukan keluargaku.
Bertahun-tahun kemudian, aku tahu bahwa ternyata putri Steve,
Bindi Sue, juga mengikuti jejak ayahnya. Salah satu acaranya, Bindi the
Jungle Girl, hanya pernah kubaca dari majalah Bobo. Maklum, aku terasing
dari siaran luar negeri. Dan aku kemudian tahu dari koran bahwa ia dan ibunya
pernah datang ke Jakarta setelah kematian Steve, dalam program semacam
pertukaran antar kebun binatang.
Selamat beristirahat, Mr. Steve. Meski saat aku menulis ini, sebuah
catatan kecil yang bahkan tersusun dengan buruk, sudah bertahun-tahun berlalu
sejak kepergianmu... ketahuilah, Anda akan selalu ada dalam hati kami... kami, penduduk dunia yang telah Anda beri inspirasi, yang akan terus membawa Anda dalam setiap langkah kami menjelajahi penjuru Bumi. Dan kami akan mengingatmu, selalu.
Note: Steve pernah dapat cameo role dalam Dr. Dolittle
2! Kini aku menyesal tak pernah benar-benar menonton film itu.
-------------------------------
-------------------------------
Essendon, Victoria, AustraliaOccupation : Naturalist
Zoologist
Conservationist
Television personality
Herpetologist
-------------------------------
I still remember him too... great man.
ReplyDeleteHe's too great for words, y'know.
DeletePernah aku bilang sama ibu, aku ingin ketemu Steve Irwin lagi.
Ibu bilang, "Yang udah meninggal itu? Mau nyusul?"
...ckck.